Senin, 22 Februari 2016

Posisi Tawar Rakyat dan Oligarki

Posisi Tawar Rakyat dan Oligarki

Ani Soetjipto ;   Pengajar di FISIP UI
                                                     KOMPAS, 20 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Harian Kompas , pada 11, 12, dan 13 Januari 2016 menyajikan ulasan tentang pemilihan kepala daerah serentak  yang berlangsung 9 Desember 2015. Dalam ulasannya, Kompas menyatakan   terjadinya perubahan pola kepemimpinan di daerah  dengan kecenderungan peningkatan pemimpin usia muda  dan berjenis kelamin perempuan.  Kompas juga mencatat  terjadinya pergeseran ke arah "kedewasaan" dan  kematangan dari pemilih yang menginginkan adanya perubahan dari situasi yang mereka hadapi pada hari ini.  Masyarakat memberikan sinyal bahwa mereka menunggu pemimpin merakyat , mampu bekerja cepat,  dan kerinduan itu semakin didorong karena adanya contoh kepala daerah yang  dapat membawa perubahan di daerahnya.

Fenomena tersebut menjelaskan mengapa banyak kandidat petahana yang kalah atau tidak dipilih dalam pemilihan kepala daerah serentak. Masyarakat mengalami kejenuhan atas prestasi yang biasa-biasa saja dan menginginkan perubahan yang lebih nyata.

Pilkada dan demokrasi

Referensi tentang pemilu dalam konteks demokrasi biasanya berargumen bahwa pemilu adalah ajang  penting untuk terpilihnya pemimpin lewat prosedur demokrasi yang dilakukan dengan cara-cara yang akuntabel.  Lensa pandang seperti ini memandang bahwa pemimpin yang terpilih telah melalui cara dan jalan demokratis karena mereka  harus  meyakinkan pemilih mengapa mereka harus dipilih dengan tawaran program dan janji yang akan membuat pemilih tertarik untuk memilih atau tidak akan memilih mereka.

Cara pandang ini hanya melihat rakyat pemilih sebagai penonton pasif, seperti kontes atau pertandingan. Siapa pun yang memenangi pemilihan, kebijakan yang diambil tak akan ada urusannya dengan kehidupan rakyat karena pemimpin sesungguhnya mewakili partai pengusungnya.

Ketika pemilih dipandang sebagai penonton pasif, maka pilkada menjadi ajang sirkulasi elite yang berputar di kalangan  kelompok terbatas.  Sentralisasi kekuasaan kepada kelompok kecil, seperti itu sering disebut sebagai oligarki. Oligarki bentuknya bisa beragam. Di Indonesia, oligarki bernuansa kekerabatan dan  kelompok bisnis masih mendominasi wajah pemimpin baru hasil Pilkada 2015

Persoalan lain dalam pilkada adalah  politik uang.  Pemilih tidak akan merasakan kemenangan atau kekalahan karena sesungguhnya yang merasakan kemenangan atau kekalahan adalah sponsor yang berada di belakang layar,  yaitu  para penyandang dana dan kelompok yang memiliki kekuatan finansial  yang mensponsori para kandidat.

Dengan kata lain, partisipasi dalam pemilu hanya dimaknai sebagai memilih pemimpin  yang "baik"  tanpa agregasi dandeliberasi kepentingan.  Dampaknya adalah  penguatan oligarki partai politik yang makin membuat timpang relasi antara pemimpin dengan masyarakat pemilih

Lensa  pandang lain, yang jarang disuarakan oleh para pengamat pemilu dan mereka yang menekuni studi tentang kepemiluan, adalah memaknai pilkada  sebagai arena untuk penguatan pendewasaan  kewargaan.   Menjadikan pemilu sebagai ajang  yang bisa berdampak kepada distribusi  sumber daya yang berkeadilan bagi masyarakat.

Makna simbolik menjadikan pemilih berdaya sebagai warga negara  adalah arena penting  yang harus terus disuarakan dan diperjuangkan.  Pemilu adalah ajang di mana harapan diletakkan bagi perubahan kondisi dan situasi , terutama untuk kalangan yang tersisih  dan tidak beruntung   yang berharap  kondisi hidup mereka lebih baik  lewat perubahan kebijakan/legislasi sebagai hasil proses pemilihan demokratis.

Pertanyaannya adalah bagaimana memperkuat posisi tawar rakyat dalam pilkada? Hubungan relasional seperti apa yang harus dibangun antara konstituen dengan kandidat pemimpin dalam pilkada?

Kita tahu bahwa tindakan memilih/mencoblos dalam pilkada  sejatinya merupakan tindakan merdeka, yang dalam teorinya seharusnya lepas dan bebas dari pengaruh siapa pun, baik individu lain atau kelompok di mana mereka selama ini berafiliasi.  

Pilihan individual itu ketika diagregasikan dan dijumlahkan menghasilkan suara terbanyak.  Suara terbanyak adalah basis bagi terpilihnya pemimpin baru. Dalam literatur, pemimpin ini dianggap merepresentasikan pemilih. Referensi klasik memaknai representasi melalui agregat statistik bukan  berdasarkan agregat kepentingan dan identitas.

Situasi inilah yang digugat. Keragaman identitas dan kepentingan masyarakat hilang dalam kontes pilkada.  Partai  dalam pilkada baru sebatas bisa menyediakan paket kandidat yang disodorkan kepada para pemilih tanpa menyediakan menu tawaran program bagaimana menjawab tuntutan kepentingan konstituen dengan identitas yang beragam.

Yang dibutuhkan adalah program kerja setelah terpilih yang bisa merespons kebutuhan konstituen.  Dalam pilkada , yang terekam hanya foto kandidat  dalam bentuk baliho yang tersebar,  tetapi misi dan program konkret  apa yang ditawarkan kandidat jika terpilih tidak terdengar.

Padahal, misi dan program tersebut   yang  seharusnya mereka deliberasikan kepada para pemilih untuk digugat, dikritisi, dikoreksi, dan diperbarui  lewat ajang kampanye tatap muka dan diskusi dalam  pilkada. Kampanye Pilkada 2015 isinya lebih banyak sosialisasi bukan deliberasi.

Dalam kerangka berpikir tersebut, prosedur yang sangat krusial dan harus diperbarui adalah penetapan syarat keikutsertaan kandidat dalam pilkada. Selain calon yang diajukan oleh partai politik, pemilu juga harus terbuka bagi pencalonan kandidat independen. Kandidat independen harus dapat mencalonkan diri dengan syarat-syarat yang lebih lunak dibandingkan melalui partai. Hal ini untuk memunculkan figur alternatif, di luar dari lingkaran oligarki partai.

Pelibatan pemilih

Sistem pemilihan sangat menentukan pemimpin yang dihasilkan. Dalam sistem pemilihan langsung di pilkada Indonesia, sumber daya keuangan dan jaringan memiliki pengaruh dalam menentukan terpilih-tidaknya seorang calon. Kandidat dengan keuangan dan jaringan yang kuat memiliki kemungkinan lebih baik untuk terpilih. Itu sebabnya, banyak calon perempuan yang kalah karena keterbatasan dalam hal sumber daya dibandingkan calon laki-laki. Itu juga sebabnya orang dari lingkup kekerabatan dalam partai, figur populer, pengusaha, dan mantan pejabat, yang biasanya memiliki dukungan sumber daya besar yang akhirnya dicalonkan oleh partai.

Prosedur yang sama krusialnya adalah isu partisipasi pemilih dan mekanisme kampanye. Partisipasi pemilih harus dimaknai ulang, tidak lagi sekadar statistik  voters turnout  atau keikutsertaan dalam memilih, tetapi sebagai bentuk pelibatan pemilih dalam penyusunan program kerja partai atau calon kepala daerah.

Partai dan kandidat harus melakukan proses menjaring dan mengagregasikan kepentingan warga, yang dihasilkan dalam program kerja yang dikampanyekan. Meski demikian, kampanye harus menjadi arena dialog antara kandidat dengan masyarakat dalam membahas kepentingan (lokal) warga.

Saat terpilih, kepentingan yang sudah diterjemahkan ke dalam program kerja inilah yang diperjuangkan kepala daerah, dalam bentuk alokasi dan distribusi sumber daya negara yang berkeadilan bagi warga, serta kebijakan-kebijakan yang pro kepentingan masyarakat.

Hanya dengan pelibatan warga inilah, yang dimulai dari proses pemilu sampai setelah calon terpilih, maka ada pintu menuju jalan untuk mengimbangi oligarki partai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar