Rabu, 17 Februari 2016

Rupiah Mulai Beranjak Menguat

Rupiah Mulai Beranjak Menguat

A Tony Prasetiantono  ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
                                                     KOMPAS, 15 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Nilai tukar rupiah secara mencolok melaju dari Rp 13.900 per dollar AS menjadi Rp 13.400 per dollar AS pekan lalu. Kinerja impresif ini mengundang pertanyaan: mengapa?

Saya menduga, pemicunya adalah kinerja pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2015 yang menembus batas psikologis 5,04 persen. Ini pencapaian yang penting karena pada triwulan I, II, dan III, pertumbuhan ekonomi hanya berkutat pada kisaran 4,7 persen.

Pada saat yang sama, beberapa negara emerging markets kunci justru sedang mengalami penurunan kinerja secara signifikan. Kinerja yang memburuk memicu sentimen investor global untuk mengarahkan dana ke Indonesia, yang kondisinya relatif lebih baik. Kita sangat diuntungkan oleh situasi ini. Rupiah menguat, indeks harga saham kita menguat dan berada pada level yang cukup baik, yakni 4.700-an. Padahal indeks Dow Jones di New York terempas ke bawah batas psikologis 16.000.

Perekonomian Tiongkok pada Januari 2016 kehilangan cadangan devisa hampir 100 miliar dollar AS. Kini, cadangan devisa negara itu merosot ke 3,23 triliun dollar AS. Penyebabnya antara lain aliran modal keluar secara masif, hingga 158 miliar dollar AS pada Desember 2015. Padahal, pada sepanjang 2015 telah terjadi penurunan cadangan devisa setengah triliun dollar AS (Bloomberg, 7/2/2016).

Ekonom Paul Krugman menganalisis, Tiongkok yang sedang dalam kesulitan besar berpotensi besar mengalami hard landing. Persoalan terbesarnya adalah model perekonomiannya, yakni kombinasi antara tabungan masyarakat yang tinggi dan tingkat konsumsi rendah, telah menghasilkan dorongan investasi yang besar. Namun, hal ini tidak berlanjut. Ekspansi kredit dan belanja infrastruktur yang masif tak lagi bisa dilakukan. Perbankan harus berhati-hati menghadapi risiko kredit macet. Pembangunan infrastruktur sudah menyentuh titik jenuh. Faktor ini mengakhiri era pertumbuhan tinggi 25 tahun terakhir (”When China Stumbles”, The New York Times, 8/1/2016).

Kondisi Brasil juga parah. Negara yang akan menjadi tuan rumah Olimpiade pada Agustus 2016 ini mestinya menikmati dampak positif berupa kenaikan pertumbuhan ekonomi. Yang terjadi justru sebaliknya. Brasil yang sedang kena krisis ekonomi dan politik diramalkan mengalami kontraksi ekonomi 2,5-3 persen. Brasil terkena imbas penurunan harga minyak dan komoditas primer dunia, yang menyebabkan APBN-nya defisit 10 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Hal yang sama terjadi pada Venezuela, negara produsen minyak yang saya duga terpaksa mencetak uang untuk menutup kebutuhan APBN akibat harga minyak jatuh ke 30 dollar AS per barrel. Venezuela menderita inflasi 240 persen pada 2015, yang diyakini berlanjut tahun ini. Krisis politik segera mengikuti krisis ekonomi.

Indonesia termasuk ”beruntung”. Kita secara sadar mengubah haluan dari negara yang bergantung pada minyak, gas, dan komoditas primer menjadi lebih terdiversifikasi ke manufaktur. Itulah pesan terkuat dalam 10 kebijakan deregulasi yang diluncurkan pemerintah. Pesan ini rupanya ditangkap para investor global untuk mulai mengalirkan dana ke India, Indonesia, dan Vietnam, daripada ke Tiongkok dan Brasil.

Meski demikian, kita tak boleh lengah. Masih banyak masalah yang mengintai. Penerimaan pajak pada Januari 2016 masih seret, yang akan memberi tekanan defisit fiskal yang lebih besar. Tahun lalu, APBN kita defisit 2,5 persen terhadap PDB.

Jika tak bisa segera diatasi, defisit APBN berpotensi mengarah ke 3 persen terhadap PDB. Ini adalah batas terjelek yang ditoleransi undang-undang, yang akan menimbulkan implikasi negatif.

Indonesia terbukti tidak memilih kebijakan fiskal mencetak uang guna menutup defisit APBN. Defisit kita diongkosi dari utang (menerbitkan surat berharga negara). Jika dilakukan dalam jumlah besar, akan terjadi crowding out. Crowding out adalah fenomena ketika pemerintah hendak mengintervensi kondisi fiskal dengan menutup dari tambahan utang, berupa penerbitan obligasi. Jika dilakukan, imbal hasil obligasi akan naik. Ini jelas mengganggu keseimbangan pasar surat berharga karena suku bunga deposito akan terdorong naik.

Padahal, suku bunga deposito sedang diupayakan turun. Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga acuan dari 7,5 persen menjadi 7,25 persen, serta berpotensi menurunkan lagi dalam waktu dekat menjadi 7 persen. Sebab, inflasi rendah, rupiah menguat, dan cadangan devisa aman di 102 miliar dollar AS.

Sudah saatnya pemerintah merevisi asumsi ekonomi makro pada APBN 2016. Misalnya, penerimaan pajak Rp 1.360 triliun yang tidak realistis mengulang kesalahan pada 2015. Harga minyak dunia yang diproyeksikan 50 dollar AS per barrel juga tidak masuk akal, saat harga sekarang 30 dollar AS. Sementara itu, tidakkah pemerintah melihat peluang menurunkan harga eceran bahan bakar minyak jenis premium?

Pertumbuhan ekonomi rendah 4,79 persen yang kita capai pada 2015 antara lain disebabkan gairah berbelanja ritel (mobil, rumah, barang-barang elektronik, dan sebagainya) yang rendah. Jika harga premium dapat diturunkan, hal itu akan memberikan ruang gerak kepada konsumen untuk ”lebih bersemangat” lagi berbelanja, yang berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar