Jumat, 19 Februari 2016

Tantangan Munaslub Golkar

Tantangan Munaslub Golkar

Syamsuddin Haris  ;   Profesor Riset LIPI
                                                     KOMPAS, 18 Februari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setahun lebih dirundung konflik internal, Partai Golongan Karya bakal menggelar musyawarah nasional luar biasa dalam waktu dekat. Apakah menggelar musyawarah nasional luar biasa (munaslub) dapat mewadahi rekonsiliasi partai beringin? Apa saja tantangan Golkar pasca konflik?

Terlepas berbagai kontroversi yang melekat pada dirinya, Partai Golkar telah mewarnai dinamika politik negeri ini selama lebih dari empat dekade. Meski relatif tak ada prestasi menonjol selama 2009-2014, partai beringin masih bisa bertahan sebagai parpol terbesar kedua pada Pemilu Legislatif 2014 lalu. Karena itu, tak pernah terbayangkan sebelumnya partai yang secara elektoral cukup stabil ini benar-benar hampir karam justru karena digerogoti konflik internal.

Partai Golkar dapat diibaratkan sebagai miniatur politik Indonesia. Betapa tidak, Golkar lahir sebagai sekretariat bersama para eksponen militer anti komunis di era Demokrasi Terpimpin Bung Karno (1964), kemudian "dikaryakan" sebagai mesin politik rezim otoriter selama lebih dari 30 tahun Orde Baru Soeharto. Meski demikian, Golkar tetap bisa bertahan di era reformasi dan demokratisasi. Meski dicaci-maki dan bahkan dituntut untuk dibubarkan oleh sebagian aktivis prodemokrasi di awal reformasi, Golkar justru tetap berkibar dan bahkan meraih kemenangan dalam Pemilu Legislatif 2004.

Selain itu, Golkar adalah partai "nasional" pertama di Indonesia, sekurang-kurangnya dalam pengertian cakupan penyebaran dukungan elektoral yang menjangkau hampir seluruh pelosok daerah. Jika Partai Nasional Indonesia (PNI) yang memenangkan Pemilu 1955 lebih merupakan "partai Jawa" karena mayoritas pendukungnya terpusat di Jawa, maka Partai Masyumi, yang meraih posisi kedua di pemilu yang sama, adalah partai "luar Jawa". Meskipun dicapai melalui pemilu-pemilu manipulatif Orde Baru, Golkar-lah yang mampu meraih dukungan signifikan di Jawa dan luar Jawa.

Munas Bali versus Jakarta

Seperti pernah saya tulis sebelumnya, konflik internal Golkar berakar pada melembaganya oligarki dalam kepemimpinan partai. Fenomena ini mulai tampak dalam kepengurusan Golkar hasil Munas Riau 2009 yang kurang mengakomodasi para lawan politik Aburizal Bakrie (ARB), ketua umum terpilih. Salah seorang di antaranya, Surya Paloh, akhirnya memilih mendirikan Partai Nasdem, mengikuti jejak mantan beberapa elite Golkar sebelumnya, seperti Prabowo Subianto (Partai Gerindra), Wiranto (Partai Hanura), dan almarhum Edi Sudrajat (PKP, kemudian PKP Indonesia).

Pengelolaan partai yang tidak demokratis tersebut kemudian melembaga dan mewarnai proses penyelenggaraan Munas Bali pada 30 November hingga 3 Desember 2014. Para calon ketua umum yang ingin berkompetisi dalam Munas Bali tidak memperoleh akses yang setara, fair, dan terbuka. Realitas inilah yang menimbulkan kekecewaan sebagian jajaran Golkar sehingga mendorong berlangsungnya munas Golkar di Jakarta, hanya berselang seminggu kemudian, yakni pada 6-8 Desember 2014.

Meski sejumlah langkah hukum ditempuh kedua pihak, konflik tak kunjung usai. Tim transisi yang dibentuk Mahkamah Partai Golkar menawarkan munas sebagai solusi penyelesaian konflik Golkar. Di luar dugaan, tawaran itu akhirnya direspons positif kubu ARB yang menyelenggarakan rapimnas pada 23-25 Januari 2016 lalu dengan mengusulkan munas "luar biasa". Pemerintah pun akhirnya memfasilitasi upaya islah melalui perpanjangan masa jabatan kepengurusan Golkar hasil Munas Riau pada 2009 hingga enam bulan ke depan.

Pertanyaan berikutnya, munaslub seperti apa yang bisa mewadahi rekonsiliasi kubu-kubu yang bertikai di tubuh Golkar? Apakah kepengurusan hasil munaslub dapat menjamin terkonsolidasinya Partai Golkar, atau justru jadi sumbu konflik baru?

Seperti dikemukakan sebelumnya, salah satu faktor utama konflik Golkar bukan saja pengelolaan partai yang cenderung personal-oligarkis ketimbang institusional-demokratis, tetapi juga mengabaikan prinsip-prinsip dasar berpartai. Sebagai organisasi modern, manajemen partai meniscayakan tegaknya prinsip-prinsip transparansi, proses pengambilan keputusan secara demokratis, dan taat asas atau kepatuhan terhadap aturan dan atau konstitusi partai.

Munaslub dapat mewadahi rekonsiliasi dua kubu Golkar yang bertikai jika prosesnya berlangsung secara transparan, fair, dan demokratis. Artinya, tidak ada lagi upaya rekayasa oleh individu atau kelompok tertentu untuk memenangkan kelompoknya dalam munaslub mendatang. Sebaliknya, munaslub bisa menjadi sumbu konflik baru apabila para pihak yang bertikai cenderung memaksakan kehendak kelompok masing-masing untuk menguasai kepemimpinan Golkar.

Salah satu faktor strategis yang menentukan keberhasilan munaslub sebagai forum islah Golkar adalah terbentuknya panitia bersama yang bisa mewadahi beragam faksi internal partai beringin. Tahap berikutnya adalah menjamin berlangsungnya proses munas yang transparan, fair, dan demokratis. Termasuk di dalamnya memastikan prosedur penentuan keabsahan pengurus dewan pimpinan daerah sebagai utusan sekaligus pemilik hak suara dalam Munaslub Golkar.

Tantangan pasca konflik

Oleh karena itu, tantangan Golkar bukan sekadar keberhasilan penyelenggaraan munaslub sebagai wadah rekonsiliasi antarpihak yang bertikai. Jauh lebih penting dari itu, Golkar memiliki sejumlah pekerjaan rumah sekaligus tantangan yang tidak mudah. Secara internal, tantangan itu antara lain, pertama, mengembalikan marwah Golkar sebagai rumah bersama yang teduh dan nyaman bagi segenap kader yang beragam secara agama, ras, etnis, golongan, dan daerah.

Kedua, mengubah citra Golkar dari sekadar tempat para politisi oportunis mencari makan, menjadi wadah perjuangan yang berbasis profesionalisme, pengabdian, dan kekaryaan. Ketiga, mengembalikan citra Golkar dari partai milik perseorangan atau segelintir elite menjadi badan hukum publik yang menjadi milik bersama para anggota.

Sementara itu, secara eksternal, Partai Golkar perlu menjernihkan format relasi dengan pemerintah di satu pihak, dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang telah ditinggalkannya di pihak lain. Dalam konteks relasi dengan pemerintah, apakah dukungan politik yang diberikan Golkar sekadar manuver politik untuk memperoleh bagian kekuasaan, atau sungguh-sungguh dukungan terhadap program pemerintah Jokowi-JK? Jika orientasi dukungan lebih pada apresiasi terhadap program dan komitmen pemerintah, tak seharusnya dukungan dikompensasi dengan kursi kabinet dari Jokowi.

Terkait relasi dengan KMP, pertanyaan besar publik yang tak kunjung terjawab adalah, apakah Golkar selaku pemimpin KMP begitu mudahnya menarik diri dari koalisi permanen yang dideklarasikan pada 14 Juli 2014. Sekjen Partai Gerindra mengatakan secara de facto KMP telah bubar. Akan tetapi Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid, seperti dikutip berbagai media menegaskan, "Belum ada deklarasi bahwa KMP bubar."

Apakah Golkar hendak bermain di dua kaki seperti lazimnya? Saya kira, inilah tantangan kepemimpinan Golkar hasil munaslub mendatang, yakni, ke dalam, pelembagaan demokrasi internal, dan keluar, merumuskan moralitas politik baru Golkar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar