Selasa, 24 Mei 2016

Kekayaan itu Bernama Tradisi

Kekayaan itu Bernama Tradisi

Ahmad Baedowi ;    Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
                                               MEDIA INDONESIA, 23 Mei 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TRADISI atau adat istiadat serta kebiasaan turun-temurun yang telah dipraktikkan masyarakat di seluruh Nusantara saat ini sedang menghadapi tantangan serius, yaitu hilangnya generasi penerus yang mencintai tradisi lokal mereka. Memang tak pernah dilakukan penelitian secara saksama berapa banyak tradisi lokal yang telah punah karena habisnya para pelaku. Namun, dapat dipastikan, ada ribuan tradisi lokal yang seakan artefaknya saja tak kelihatan di dalam museum kita, bahkan penutur dan pelakunya mengalami keterputusan generasi.

Penyebabnya tidak sederhana. Selain karena arus urban perdesaan yang menggerus nilai-nilai lokal, berkembangnya informasi dan teknologi juga menyebabkan anak-anak kita tak lagi mencintai bangunan tradisi lokal yang kalah bersaing dengan IT. Jika kita berkhidmat pada hasil penelusuran banyak lembaga, lebih dari 3.000 tradisi budaya di Indonesia baik lisan maupun tulisan kini mulai dilupakan.

Kearifan tradisional Indonesia terancam jika tidak ada perlindungan dari pemerintah untuk mencatat dan melestarikannya. Perlu ada undang-undang untuk melindungi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya yang bertujuan mengembangkan budaya, memanfaatkan pengetahuan tradisional, melestarikan budaya, mempromosikan serta melindungi budaya, dan pengetahuan tradisional, seperti dengan penyebutan asal usul dan menghargai aspek religius yang berlaku di masyarakat adat.

Tiga lapisan

Inisiatif dan upaya melindungi tradisi dan budaya masyarakat sebenarnya sudah mulai muncul. Beberapa pemuka dan tokoh masyarakat adat mulai berpikir untuk melindungi budaya serta adat dan tradisi mereka melalui pendekatan legal-formal dengan cara mendaftarkan seluruh aspek kekayaan intelektual dari tradisi dan budaya menjadi hak kekayaan intelektual (HKI).

Cara ini bisa jadi sebuah permulaan yang baik, tetapi menurut saya masih salah kamar karena HKI lebih bersifat individual, komersial, dan dibangun untuk memonopoli hak intelektual tertentu. Sementara itu, budaya, tradisi, dan adat istiadat serta kearifan lokal bersifat komunal, tidak komersial. Jadi, kalau menerapkan HKI untuk melindungi pengetahuan tradisional, tentu saja masih salah alamat, kecuali untuk melindungi produk berbasis pengetahuan tradisional.

Karena penerapan HKI yang berlaku saat ini tidak menjangkau kearifan tradisional lantaran memiliki konsep property atau kepemilikan yang berbeda, peran lembaga pendidikan menjadi sangat penting. Jika lapisan legal/formal dibutuhkan hanya untuk pencatatan struktur budaya yang bersifat akademik, pada lapisan kedua, sesungguhnya kita berharap banyak jika sebuah budaya, tradisi, dan adat-istiadat dipelajari dan diujicobakan kembali ke sebuah proses belajar-mengajar yang bersifat holistis. Seluruh warna budaya dan tradisi sesungguhnya bisa dimasukkan ke bidang studi sosial, termasuk dan tidak hanya terbatas pada seni, agama, dan sejarah. Dengan memasukkan pengetahuan tentang budaya dan tradisi lokal Indonesia ke skema bidang studi terapan minimal di sekolah menengah, kita dapat mempertahankan sifat dasar tradisi, budaya, dan kearifan lokal, yaitu turun-temurun dan memiliki sumber daya genetik.

Lapisan ketiga dari setiap tradisi, budaya, dan kearifan lokal yang sudah dimasukkan ke katalog bidang studi setidaknya dapat menyimpan informasi tentang latar belakang historis, kondisi geografis, dan jenis keterbukaan terhadap budaya luar. Jika hal ini secara terus-menerus diobservasi melalui pendekatan pembelajaran, itu setidaknya akan menguntungkan dan melanggengkan sebuah tradisi dari sergapan budaya luar secara liar dan serampangan. Pentingnya menganalisis sistem budaya, tradisi, dan kearifan lokal dari interaksi dengan budaya luar justru akan membuat sebuah tradisi dan budaya tetap dicintai anak-anak kita.

Proses interaksi antara budaya dan tradisi kita dengan budaya luar saat ini tidak bisa dihindari. Perbedaan tampak dari adanya jenis budaya, adaptasi terhadap lingkungan, dan perkembangan teknologi. Walaupun berbeda, Indonesia mempunyai persamaan, yaitu pada umumnya berasal dari satu nenek moyang, bahasa yang dipergunakan berasal dari satu rumpun, dan dari sudut budaya menunjukkan adanya persamaan, yaitu berdasarkan tradisi dan ikatan keluarga. Keuntungan ini, jika diselisik lebih lanjut, sesungguhnya dapat menghindari terjadinya kegoncangan budaya (cultural shock) karena skemanya diperkenalkan melalui sebuah proses belajar-mengajar.

Sarana adaptasi

Proses belajar juga dapat menghindari anak-anak kita yang mengenali dengan baik budaya dan tradisi lokal ketika beradaptasi dengan budaya luar yang terkadang dapat menimbulkan ketimpangan budaya (cultural lag). Gejala ini sangat umum terjadi karena kebanyakan anak-anak kita mengenal lebih dahulu kebudayaan luar daripada mengenali terlebih dahulu tradisi dan budaya kita. Oleh karena itu, dalam proses arus interaksi dengan kebudayaan luar, diharapkan budaya dan tradisi kita dapat menjadi pengukuh kekuatan bangsa, yaitu kebudayaan daerah yang merupakan jati diri kebudayaan nasional.

Pada akhirnya, kita masih berharap bahwa Kemendikbud dapat mengembangkan skenario pengenalan tradisi, budaya, dan kearifan lokal sedini mungkin dalam rangka mencegah terjadinya cultural shock dan cultural lag secara cepat dan merata di lingkungan anak-anak kita. Kita juga berharap dapat mengembangkan kebebasan berkreasi dalam berkesenian sebagai sarana adaptasi tradisi dan budaya lokal dengan budaya luar dalam rangka mencapai sasaran sebagai pemberi inspirasi bagi tumbuhnya kepekaan rasa terhadap totalitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan tumbuhnya kesadaran keanekaragaman budaya dan tradisi di lingkungan anak-anak sekolah, di masa depan, bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang maju dan bangga dalam mengembangkan bidang kebudayaan dengan tetap menjunjung tinggi kebudayaan daerah yang dipertahankan keasliannya tanpa mencampuradukkannya dengan budaya asing. Wallahualam bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar