Minggu, 03 Juli 2016

Bripka Seladi: Potret Kemandirian Polisi

Bripka Seladi: Potret Kemandirian Polisi

Bambang Widodo Umar ;   Guru Besar Sosiologi Hukum UI; Pengamat Kepolisian
                                                    KORAN SINDO, 01 Juli 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menjelang peringatan Hari Bhayangkara Ke- 70 muncul fenomena yang menantang pikiran linear polisi. Bripka Seladi, seorang anggota Polantas Polres Malang, melakukan pekerjaan sampingan yang nyleneh (sangat berbeda) sebagai pemulung sampah.

Langka, seorang polisi tidak malu melakukan pekerjaan sampingan semacam itu. Suatu pekerjaan yang dianggap hina oleh umumnya orang, mengaisngais di tempat sampah, mencari barang-barang bekas, botol, kardus, plastik yang masih memiliki nilai jual. Orang yang menggeluti pekerjaan itu umumnya terpaksa karena faktor ekonomi, sulit cari kerjaan, berasal dari keluarga tidak mampu, pendidikan rendah, tidak punya keterampilan, juga tidak punya modal untuk membuka suatu usaha.

Sebenarnya, kalau mau, Seladi bisa saja mendapatkan uang dengan jalan pintas seperti kebanyakan polisi. Tapi, kata hatinya lain, dia tak ingin menodai profesinya sebagai polisi, profesi yang luhur (officium nobile). Tercatat dalam sejarah, sungguh mulia hati nurani Bripka Seladi.

Yang jelas Seladi tak punya niat untuk menjadi polisi teladan, juga tidak menyadari bahwa tindakannya merefleksikan pesan yang sangat dalam bagi polisipolisi lain. Bekerjalah secara benar dan jujur, jangan menyalahgunakan kekuasaan, carilah tambahan penghasilan dengan cara yang halal, jangan menipu, memeras, menerima suap, dan korupsi.

Perbuatan itu tidak saja mencemari lembaganya, Polri, tetapi juga menyakiti hati rakyat. Melihat fenomena itu, beda pandangan di antara aparat kepolisian tentu terjadi. Ada yang hormat, ada yang ragu, ada yang tidak percaya, bisa jadi ada yang marah karena tindakan Seladi dianggap memalukan korps kepolisian.

Bahkan mungkin ada yang mengatakan tak mungkin menjadi Polantas tidak mencari materi lewatjabatannya, bohong, sok suci, apalagi di bagian SIM. Begitulah kira-kira komentar polisi-polisi yang cemburu. Fenomena itu perlu direnungkan dan dianalisis oleh petinggi polisi, juga bangsa ini, bangsa Indonesia.

Bagaimana sesungguhnya eksistensi polisi? Jangan hanya orang-orang DPR yang sering diolok-olok, justru mereka yang mengundang dan menghargai Seladi. Kita semua diingatkan, bisa jadi diledek oleh fenomena Bripka Seladi, pemulung sampah.

Ia tidak menggunakan aji mumpung, pada jamane jaman edan yen ora ngedan ora keduman, ning sak bejo-bejane sing ngedan isih bejo sing eling lan waspodo (zamannya zaman gila, kalau tidak ikut berbuat seperti orang gila, tidak kebagian, tapi seuntung-untungnya yang berbuat seperti orang gila masih untung orang yang ingat dan waspada).

Refleksi Polisi Tri Brata

Fenomena Bripka Seladi merupakan refleksi dari substansi profesi polisi, bukan fatalisme. Tindakannya membuka jendela- jendela yang berkiblat ke alam transendental. Substansi itu merupakan inti di dalam dirinya, polisi. Substansi akan menampakkan diri sejauh ia dikenali dan dihayati lebih dulu sifat-sifatnya.

Jika Tri Brata diakui sebagai pedoman hidup polisi, keutamaan sifat-sifat itu harus menampakk a n diri. Sebagai landasan moral kolektif, Tri Brata merupakan daya ikat perilaku polisi untuk mencegah tindakan yang bertentangan dengan sifat-sifatnya. Kini simbol Tri Brata tampak mulai kumuh.

Ia menjadi kumuh karena selama ini lebih sering diikrarkan daripada dilaksanakan dalam menjalankan tugas sebagai insan polisi. Kehidupan polisi pun semakin hari semakin tercemar oleh budaya “materi”, mengejar duniawi dengan rasionalitas pragmatis yang lepas dari pertimbangan dan kendali “etis”.

Sebaliknya, dunia nilai termasuk yang di dalamnya nilai-nilai Tri Brata hanya dijadikan urusan privat. Menjadi polisi tidaklah kemudian mengesampingkan pertimbangan prarasional. Selama ini pendidikan yang diselenggarakan untuk mengembangkan kemampuan polisi lemah dalam menempatkan minat pada tema “etika”. Seolah-olah tema itu luput dari kepentingan dalam pendidikan Polri.

Jika dinyatakan Tri Brata sebagai pedoman hidup polisi, yang isinya polisi sebagai : (1) abdi utama daripada nusa dan bangsa; (2) warga negara teladan daripada negara; dan (3) wajib menjaga ketertiban pribadi daripada rakyat, maka untuk menginternalisasikannya tidak cukup hanya dengan memberikan bekal pengetahuan kepolisian.

Perlu ada latihan untuk mengasah “nurani polisi” secara langsung di lapangan agar Tri Brata meresap ke dalam jiwa dan pikirannya. Tri Brata tidak bisa diharapkan hanya dengan cara menghafal dan mengucap sumpah. Cara itu ibarat euphemisme bagi perbuatan menggantang asap, polisi- polisi tentu sadar bahwa penerapan Tri Brata dalam kondisi lingkungan umum seperti sekarang ini tidak mudah.

Mengapa demikian? Tak seorang polisi pun menyangkal akan keluhuran Tri Brata, namun tidak ada pula yang mengingkari bahwa keluhuran itu sebenarnya tidak penting, yang lebih penting adalah dalam ”sistem penerapan”-nya. Jika itu dilakukan, arah dan tujuan perkembangan pendidikan untuk membentuk kepribadian polisi yang luhur menjadi tidak jelas.

Dalam usianya yang ke-70 tampak Polri masih mencari jati diri selaku polisi Tri Brata. Usia 70 untuk manusia itu dapat dikatakan sudah di ambang senja, namun tidak demikian bagi organisasi. Bagi manusia, pada usia itu umumnya selalu menengok ke belakang untuk menyisir jejak-jejak langkahnya selama hidup di dunia sebagai persiapan kelak mempertanggungjawabkan segala tindakannya di hadapan Sang Pencipta.

Bagi Polri, dalam usia ke-70 seharusnya sudah tegak dalam menapakkan langkah mengemban darma sebagai pengayom, pelindung, dan pembimbing masyarakat. Untuk mencapai tujuan itu, tampaknya jalan yang harus dilalui Polri masih terbentang panjang, terjal, dan sarat dengan rintangan. Hingga kini metode penerapan Tri Brata belum dilembagakan dalam organisasi kepolisian.

Tri Brata sebagai pedoman perilaku individu maupun organisasi Polri belum terumuskan dalam sistem pembinaan dan operasional kepolisian. Dari berbagai literatur yang ada diketahui baru sampai pada komentar tentang sejarah dan nilai-nilainya. Seminar atau diskusi mengenai Tri Brata kerapkali berputar-putar mengenai petuah-petuah moral, padahal yang dibutuhkan adalah metode penerapannya dalam organisasi kepolisian baik secara struktural maupun kultural.

Meskipun kondisinya masih demikian, dalam mengemban tugas pokoknya Polri dituntut tetap berjalan tegak sebagai penegak hukum, pembina ketertiban dan keamanan masyarakat. Dalam menghadapi aral rintangan, Polri tidak boleh mundur walau setapak. Polisi tidak boleh gentar dengan ejekan, cercaan, dan hinaan yang menyakitkan hati.

Dalam struktur seperti sekarang ini harus bisa memaklumi anggapan bahwa keberadaan dirinya adalah endapan citra sebagai aparat penjamin kekuasaan yang dikonfrontasikan dengan rakyat. Justru adanya anggapan itu harusnya menjadi pemicu untuk mengubah dirinya. Kini dalam konteks pembenahan Polri, tantangan yang dihadapi semakin berat, tidak sekadar masalah strategis, taktis, dan teknis kepolisian.

Lebih dari itu, menyangkut masalah substansi. Tantangan itu meliputi; Pertama, membentuk jati diri polisi Tri Brata. Kedua, meningkatkan profesionalismenya. Kiprah Bripka Seladi itu selaras dengan Tri Brata. Itulah jati diri polisi yang mandiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar