Rabu, 26 Oktober 2016

Pahitnya Menata Manisnya Industri Gula

Pahitnya Menata Manisnya Industri Gula
Enny Sri Hartati ;   Direktur Institute for Development of Economics and Finance
                                                      KOMPAS, 24 Oktober 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia saat ini menimbulkan konsekuensi penurunan permintaan. Akibatnya, sejumlah harga komoditas, tak terkecuali komoditas pangan, mengalami tren penurunan harga. Tak heran jika harga beras, jagung, kedelai, gandum, gula, dan komoditas lain juga relatif turun di pasar internasional.

Ironisnya, di Indonesia, harga sejumlah komoditas pangan tersebut justru naik. Gula, misalnya, harganya naik sangat fantastis, hampir 200 persen. Konsumen yang biasanya membeli gula pasir dengan harga Rp 8.000- Rp 10.000 per kilogram (kg) tiba-tiba pada Ramadhan dan Idul Fitri 2016 dikejutkan dengan harga gula yang meroket, mencapai Rp 18.000 per kg.

Pola kenaikan musiman menjelang Ramadhan dan Idul Fitri memang merupakan persoalan klasik kita. Namun, sampai dengan Oktober 2016, atau empat bulan kemudian, harga gula stabil di kisaran Rp 18.000 per kg. Lebih ironis lagi, di tengah harga gula yang stabil tinggi, justru terdengar wacana untuk menutup sejumlah pabrik gula milik pemerintah (BUMN). Padahal, logikanya, ketika harga barang naik, respons kebijakan yang tepat adalah upaya menambah pasokan. Dengan kata lain, justru saatnya produsen (pabrik) menambah pasokan dan mencari keuntungan.

Ternyata, isu penutupan pabrik gula berpelat merah sudah terdengar. Pabrik gula Karangsuwung di Cirebon, Jawa Barat, mulai Maret 2015 berhenti beroperasi. Pabrik gula Sindanglaut dan pabrik gula Subang, juga beberapa pabrik gula di Jawa Timur, akan bernasib sama. Penutupan pabrik gula tersebut karena tak efisien, yakni kapasitas gilingnya di bawah 4.000 ton tebu per hari, sehingga biaya operasional membengkak. Umumnya, pabrik gula yang berskala kecil tersebut merupakan peninggalan Belanda, atau berusia lebih dari 100 tahun.

Inefisiensi pabrik gula di Indonesia bukan hanya bermasalah pada pengolahan atau pabrik dengan mesin tua, melainkan persoalan dari hulu hingga hilir. Inefisiensi dari sisi budidaya tebu, dengan biaya sewa lahan, biaya pupuk, dan biaya tenaga kerja yang semakin mahal. Pola manajemen tebang angkut dari lahan petani ke pabrik gula yang tidak profesional juga berkontribusi membuat kadar gula (rendemen) sangat rendah, sekitar 7 persen. Truk pengangkut tebu harus antre berhari-hari untuk masuk ke pabrik gula.

Namun, bukan berarti semua pabrik gula berpelat merah di Indonesia tidak efisien. Terbukti, beberapa pabrik gula milik pemerintah yang beroperasi di luar Jawa dengan mesin-mesin yang relatif baru mampu memiliki produktivitas dan rendemen yang lebih baik. Meskipun, jika dibandingkan pabrik gula swasta yang beroperasi di wilayah yang sama, tingkat rendemen di pabrik gula BUMN masih sangat jauh berbeda. Artinya, persoalan inefisiensi ini tidak terkait masalah teknis semata, tetapi juga persoalan tata kelola pabrik dan manajemen sumber daya manusia.

Jika demikian, respons kebijakan yang tepat, mestinya, tak sekadar mewacanakan penutupan pabrik gula yang dinilai tidak efisien. Namun, perlu upaya serius dan konkret untuk mempercepat revitalisasi dan relokasi pabrik gula yang tidak efisien. Sayang, kebijakan yang diambil pemerintah justru lewat cara instan, yaitu dengan menambah pemberian izin 11 pabrik gula kristal rafinasi (GKR). Pemberian izin pendirian pabrik GKR meningkat cukup signifikan dengan alasan industri makanan-minuman pengguna GKR juga meningkat. Akibatnya, impor gula mentah (raw sugar) meningkat tajam.

Produksi GKR mencapai 3,5 juta ton, sedangkan kebutuhan GKR diperkirakan hanya 2,3 juta ton per tahun. Jadi, wajar jika gula rafinasi yang semula diperuntukkan untuk industri, dapat merembes ke pasar tradisional. Hal ini dikarenakan produksi gula nasional hanya 2,5 juta ton per tahun, sedangkan kebutuhan konsumsi rumah tangga mencapai 2,7 juta ton setahun.

Akibatnya, kendati pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 42 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Patokan Petani Gula Kristal Putih, hal itu tak kunjung menyelesaikan akar masalah. Dalam permendag itu, pemerintah mematok harga patokan petani Rp 9.100 per kg. Bahkan, program operasi pasar yang dilakukan Kementerian Perdagangan, dengan menunjuk PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero), untuk menggelontorkan 192.000 ton gula, juga tidak membuat harga berubah.

Sebab, pasar telah dikuasai beberapa perusahaan (oligopoli) yang membuat tata niaga gula terdistorsi. Belum lagi rantai distribusi gula yang panjang dan permintaan gula yang besar. Setidaknya ada empat rantai pasok komoditas gula, yaitu distributor, subdistributor, grosir, dan ritel. Jika setiap rantai mengambil margin 10 persen, harus ada tambahan biaya 40 persen.

Ke depan, program revitalisasi harus dilakukan secara tuntas, tidak hanya tambal sulam dengan mengganti sebagian mesin tua yang ada di pabrik-pabrik yang sudah uzur, tetapi juga industri gula dibangun efisien, dari hulu sampai hilir. Caranya, dengan membuat kebijakan yang konkret dan nyata, di antaranya merelokasi sejumlah pabrik gula ke luar Jawa.

Langkah ini juga harus dibarengi penegakan tata kelola yang baik. Tak ketinggalan, perbaikan dalam pola pengendalian impor, yaitu mengubah sistem kuota, dari yang lebih rawan korupsi dan kartel, jadi pengendalian tak langsung melalui mekanisme tarif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar