Senin, 24 Oktober 2016

Pancasila dalam Percobaan

Pancasila dalam Percobaan

Yudi Latif ;   Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
                                                      KOMPAS, 18 Oktober 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hendaklah tetap bertahan kepala dingin di tengah kobaran api permusuhan yang bisa membakar rumah kebangsaan. Apabila mata dibayar dengan mata, dunia akan mengalami kegelapan. Sesungguhnya kelapangan hati saling memaafkan lebih mulia di mata Tuhan dan kemanusiaan.

Kita tak bisa bergerak mundur. Asal fitrah kepemimpinan bangsa ini adalah titik putih kesetaraan-persaudaraan kewargaan. Politik Indonesia tidak mewarisi dosa asal seperti Amerika Serikat. Di sana, kanvas dasar kepemimpinannya mesti berwarna putih-Anglo Saxon, Protestan, dan laki-laki. Diperlukan ratusan tahun bagi negara kampiun demokrasi itu untuk bisa menghapus warisan noda historis yang melumurinya.

Saat ini, tatkala jantung politik Amerika Serikat tengah berdebar menanti penghapusan dosa terakhir, bahwa pemimpin negara tidak mesti laki-laki, kepemimpinan politik Indonesia sudah melampaui itu semua. Dalam lintasan sejarah bangsa, kepala pemerintahan/negara pernah (bahkan sering) dipimpin minoritas non-Jawa. Pernah pula seorang Kristen bernama Amir Sjarifoeddin Harahap menjadi perdana menteri. Bahkan, Johannes Leimena dengan latar minoritas ganda (Kristen-Melanesia) beberapa kali menjadi pejabat presiden. Tak ketinggalan, pernah pula perempuan menjadi presiden di negeri ini.

Apabila kini masalah suku dan agama kembali dipersoalkan dalam urusan pemilihan, pertanda ada kuman degeneratif yang melunturkan semangat kebangsaan kita. Ketegangan etno-religius ini harus dipandang sebagai gejala permukaan dari endapan penyakit epidemik yang menyerang sistem saraf Pancasila.

Rumah Pancasila adalah rumah keseimbangan dengan lima prinsip nilai kait-mengait, yang dapat berdiri kokoh manakala dijalankan dengan mengusahakan koherensi antarsila, konsistensi dengan produk-produk perundangan, dan korespondensi dengan realitas sosial. Bibit penyakit bisa timbul karena distorsi dalam pemenuhan nilai intrinsik setiap sila ataupun karena ketimpangan dalam pemenuhan nilai ekstrinsik yang berkaitan dengan relasi antarsila.

Yang paling mudah terdeteksi dari tendensi kelunturan itu terjadi pada pengamalan sila ketuhanan. Merebaknya kekerasan bernuansa agama merupakan letupan dari kecenderungan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan keagamaan yang tidak lagi mencerminkan semangat "ketuhanan yang berkebudayaan" yang lapang dan toleran, sebagaimana ditandaskan Bung Karno.

Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan eksterioritas formalisme peribadatan, tanpa kesanggupan menggali interioritas nilai spiritualitas dan moralitas, hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman spiritual, dalam semangat ketuhanan yang welas asih, keberagamaan menjadi mandul, kering, dan keras.

Pengikut agama memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar. Pemulihan krisis-konflik sosial kehilangan basis kepercayaannya ketika agama yang seharusnya membantu manusia menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang, dan perawatan (khalifah) justru sering kali memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk terorisme, permusuhan, dan intoleransi.

Distorsi dalam pengalaman sila ketuhanan diperparah oleh distorsi dalam pengamalan sila persatuan. Dalam masyarakat plural, sikap hidup yang harus dikembangkan adalah semangat hidup berdampingan secara damai dan produktif lewat pergaulan lintas-kultural yang membawa proses penyerbukan silang budaya. Namun, warisan panjang rezim represif, yang cenderung melakukan homogenisasi dan sentralisasi budaya-politik, membuat bangsa Indonesia cenderung mengembangkan sikap hidup monokultural; hanya membatasi pergaulan dalam kepompong ras, etnis, dan agama masing-masing secara eksklusif.

Segregasi sosial warisan kolonial belum banyak mengalami peleburan. Beberapa golongan masih mempertahankan supremasi rasial dengan menolak kawin campur dengan golongan lain yang dianggap inferior. Permukiman-permukiman elite baru muncul dengan sekat segregatif yang memisahkan. Pembagian kerja dan kedudukan atas dasar pembedaan golongan juga masih bertahan.

Tabir sosial ini bahkan mulai dipahatkan pada model mental generasi penerus lewat persekolahan eksklusif berbasis irisan kesamaan agama, ras/etnis, dan kelas sosial. Akibatnya, masyarakat cenderung mengembangkan sikap curiga dan tidak percaya terhadap golongan lain dan memandang kehadiran yang berbeda sebagai ancaman.

Pada akhirnya, seperti diisyaratkan John Rawls, sumber persatuan dan komitmen kebangsaan dari negeri multikultural adalah "konsepsi keadilan bersama (a share conception of justice). Sila keadilan sosial merupakan perwujudan paling konkret dari prinsip-prinsip Pancasila, tetapi paling diabaikan. Selama belasan tahun reformasi, Indonesia mengalami surplus kebebasan, tetapi defisit keadilan, dengan kesenjangan sosial yang makin lebar. Padahal, betapa pun kuatnya jahitan persatuan nasional jika ketidakadilan tak lagi tertahankan, perlawanan dan kecemburuan sosial akan meruyak.

Meluasnya rasa ketidakadilan bukan merupakan wahana yang kondusif bagi penerimaan gagasan persaudaraan kewargaan. Ragam ekspresi kekerasan akan diarahkan terhadap kalangan yang dipersepsikan sebagai "biang kerok", dengan menggunakan baju agama dan simbol primordial lain sebagai legitimasi simbolisnya.

Dengan kepala dingin dan keterbukaan bagi refleksi diri, marilah kita kikis kuman kelunturan dan degenerasi semangat kebangsaan itu, dengan secara jujur dan konsisten menjalankan integritas moral Pancasila.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar