Selasa, 29 November 2016

Ada Apa dengan Rush Money?

Ada Apa dengan Rush Money?
Haryo Kuncoro  ;   Direktur Riset SEEBI;  Pengajar di Universitas Negeri Jakarta
                                                  TEMPO.CO, 28 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Belakangan ini, santer beredar ajakan menarik dana secara massal dari bank (rush money) yang disebarkan melalui media sosial. Pihak kepolisian mencatat sedikitnya ada 70 akun yang menyebarluaskan isu tersebut. Ajakan ini terkait dengan akan dilakukannya demonstrasi pada 2 Desember mendatang. Walhasil, tensi kegelisahan masyarakat kian tinggi. Kekhawatiran atas kondisi keamanan seperti demonstrasi pada 4 November lalu berakumulasi dengan keamanan secara ekonomi.

Fenomena ini mengingatkan pada krisis ekonomi 1997/1998, turbulensi ekonomi yang dimatangkan dengan kegaduhan politik yang berujung pada pergantian rezim. Salah satunya ditandai dengan antrean panjang untuk mengambil uang tunai di bank.

Membandingkan kedua kasus di atas tentu saja tidak adil. Sistem keuangan saat ini memiliki fondasi yang kuat. Beberapa indikator, seperti rasio kecukupan modal, manajemen risiko, dan cadangan wajib, memperlihatkan bahwa bank dalam status sehat untuk menjalankan fungsinya.

Fungsi perbankan menjembatani antara pemilik dana dan pihak yang butuh dana. Perbankan menghimpun dana dari nasabah. Hasilnya diharapkan mampu memenuhi kebutuhan dana debitor. Jika kebutuhan debitor lebih besar daripada dana terhimpun, bank menyertakan modal sendiri dan/atau mencari sumber pendanaan lain.

Intinya, bank menjalankan misinya melalui proses transformasi antara simpanan masyarakat dan maturitas jangka pendek menjadi kredit dengan maturitas lebih panjang. Bank biasanya menyimpan kas untuk cadangan sendiri sebesar 5-10 persen dari total dana nasabah.

Namun sesehat apa pun perbankan niscaya akan sempoyongan jika mengalami penarikan dana massal. Bank yang kekurangan likuiditas bisa ambruk. Mata uang rupiah akan terpuruk, pasar saham anjlok, dan investor akan melarikan uangnya ke luar negeri. Dampak terbesarnya adalah instabilitas perekonomian.

Secara konseptual, penarikan dana massal disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kondisi internal perbankan. Saat bank dalam proses menuju kebangkrutan, misalnya, nasabah secara bersama-sama akan menarik dananya. Kasus Bank Duta pada dekade 1990-an menjadi pelajaran penting bank bangkrut karena kesalahan sendiri.

Kedua, kondisi ekonomi yang ekstrem. Pengalaman di Argentina dan Meksiko pada awal 1980-an menjadi bukti konkretnya. Perekonomian kedua negara itu didera krisis utang yang memacu inflasi yang hebat. Akibatnya, rakyat lebih memilih menarik uang tunai dari bank untuk mengejar kenaikan harga.

Akar dari kedua kemungkinan itu sebenarnya adalah kepercayaan. Artinya, rush money bisa terjadi kapan saja, terlepas dari kesehatan bank dan kondisi perekonomian yang kondusif, jika kepercayaan telah hilang. Imbasnya, nasabah yang sudah tidak percaya serentak menarik dana guna menghindari risiko yang lebih buruk.

Jadi, rush money kalaupun betul-betul terjadi tidak berada pada ranah mana pun. Jika faktor kepercayaan dijadikan dasar, ini pun masih bisa diperdebatkan apakah obyektif karena kalkulasi teknis finansial atau hanya sebatas sentimen yang bersifat subyektif.

Konsekuensinya, penarikan dana juga masih harus ditelusuri lagi atas dasar bentuk simpanannya. Jika simpanan berjenis tabungan, penarikan telah dibatasi sampai nominal tertentu setiap hari. Apabila rekening tabungan ini sekaligus akan ditutup, jumlahnya pun relatif kecil (sekitar 10 persen) untuk menggoyang likuiditas perbankan.

Jika berbentuk deposito berjangka, penarikan dana yang belum jatuh tempo niscaya akan terkena penalti. Nasabah yang rasional tentu akan menghitung ulang untung-ruginya. Sangat boleh jadi, imbal hasil bersih yang diperoleh nasabah tidak cukup material untuk dibawa pulang.

Dengan skenario pesimistis tabungan dan deposito akan dicairkan seluruhnya, bank tentu sudah punya mekanisme untuk mengantisipasi risiko semacam ini. Langkah awalnya, bank yang terkena rush money akan menarik cadangan wajibnya yang disimpan di Bank Indonesia. Berikutnya, bank akan meminjam dari bank lain untuk memenuhi kebutuhan likuiditas nasabahnya. Kalaupun tidak mencukupi, bank akan meminjamnya dari bank sentral sebagai lender of the last resort.  Intinya, bank sehat tapi "kelimpungan" terkena rush money alih-alih mismanagement harus tetap hidup. Istilah populernya, "too big to fail".

Dalam konteks inilah, upaya penyelamatan Bank Century, yang kemudian menimbulkan polemik, sebenarnya dilatarbelakangi spirit agar masyarakat tidak terpengaruh kondisi sebuah bank. Kondisi ini potensial berefek sistemik, bukan hanya perbankan, tapi juga menjalar pada sektor riil.

Di sisi lain, aspek ideologis dipakai untuk alasan ajakan mencairkan uang di bank konvensional. Maka, opsi pengalihan dana menuju perbankan syariah sangat terbuka. Dalam hal ini, dana masyarakat sejatinya masih berada dalam sistem perbankan nasional sehingga stabilitas perekonomian tetap terpelihara.

Risiko yang masih harus diantisipasi adalah potensi migrasi dana ke luar negeri, alih-alih menuju bank syariah di dalam negeri. Mata rantainya akan menyambung dari penarikan dana, pembelian valuta asing, penurunan cadangan devisa, dan fluktuasi kurs. Pelarian modal ke luar negeri sayangnya terjadi di saat Trump effect masih berlangsung.

Namun perekonomian, sektor keuangan, dan industri perbankan Indonesia secara umum masih cukup tahan meredam gejolak rush money. Walhasil, tidak ada alasan yang andal untuk menyikapi rush money secara berlebihan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar