Selasa, 22 November 2016

Ini Hanyalah Koreksi Sesaat

Ini Hanyalah Koreksi Sesaat
A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
                                                    KOMPAS, 21 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Relatif berhasilnya pemerintah menjalankan program amnesti pajak pada tahap I lalu seolah-olah dengan mudah tersapu ”badai” kemenangan Donald Trump sebagai presiden ke-45 AS. Rupiah yang semula menguat ke Rp 12.900 per dollar AS langsung terkoreksi menjadi Rp 13.800 per dollar AS, kemudian stabil pada Rp 13.300 per dollar AS. Indeks Harga Saham Gabungan, yang sempat melejit ke 5.500, terkoreksi menjadi 5.170. Selanjutnya, karena tensi politik domestik menghangat, muncul desas-desus bakal terjadi penarikan dana besar dari perbankan.

Sebaliknya, indeks harga saham Dow Jones di New York justru melesat mencapai rekor baru hampir 18.900. Pasar di sana seolah mengabaikan berbagai kritik ekonom top dunia terhadap Trump. Penerima Nobel Joseph Stiglitz meragukan kompetensi Trump dalam pemahaman ekonomi, sekalipun dia lulusan Wharton School, University of Pennsylvania, sekolah bisnis terbaik di dunia.

Kebijakan perdagangan Trump cenderung akan proteksionistik, terutama terhadap Tiongkok. Hal ini terjadi karena AS menderita defisit perdagangan yang kronis, yakni 380 miliar dollar AS setahun. Namun, upaya mengenakan tarif tinggi terhadap Tiongkok, dinilai Stiglitz, akan merugikan AS sendiri karena barang-barang Tiongkok di AS akan menjadi lebih mahal. Sebaliknya, Tiongkok pun mungkin pasti membalasnya sehingga bisa memicu perang dagang di seluruh dunia. Bisa jadi, era liberalisme dunia akan segera berakhir (The Guardian, 17/11).

Jadi, kemenangan Trump sebenarnya memicu sentimen negatif di AS, tetapi kenapa justru harga saham di New York melesat? Saya duga, penjelasannya, terjadi sentimen negatif yang lebih besar di seluruh dunia. Trump dianggap sebagai simbol ketidakpastian yang menebarkan dampak buruk ke seluruh dunia. Bahkan, Paul Krugman jelas-jelas mengatakan perekonomian dunia terancam resesi.

Jika demikian, pemilik dana di seluruh dunia harus segera mengamankan aset-aset likuidnya. Mengingat saat ini negara-negara besar lain sedang berjuang menghadapi persoalan masing-masing (Tiongkok, zona euro, Jepang, Inggris), solusi yang paling masuk akal ada dua: (1) mengalihkan likuiditas menjadi dollar AS atau (2) membeli surat berharga di bursa New York. Ini penjelasan paling sederhana, mengapa dollar AS dan indeks Dow Jones menguat tajam.

Namun, saya tidak percaya penguatan tersebut tidak ada batasnya. Itu mustahil. Sehebat-hebatnya perekonomian AS memiliki daya tarik menyedot likuiditas dari seluruh dunia, hal itu tetap ada batasnya, tidak mungkin the sky’s the limit. Penguatan dollar AS yang berlebihan akan menyengsarakan defisit perdagangan AS, khususnya terhadap Tiongkok. Melonjaknya harga saham di New York malah akan menciptakan ”gelembung” finansial baru, yang ke depannya rawan terkoreksi. AS harus mengendalikan ini semua. Bank sentral AS, The Fed, kini kesulitan menemukan ruang dan momentum menaikkan suku bunga.

Oleh karena itu, tidak masuk akal jika kita berharap apresiasi dollar AS dan melejitnya harga saham di AS akan berlanjut dalam jangka panjang. Semuanya bakal menemukan titik jenuh, lalu terjadi koreksi. Kapan? Tidak akan lama. Pasar akan obyektif dan rasional dalam menilai kondisi pasar. Oleh karena itu, pelemahan rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhir-akhir ini bisa dipastikan bukanlah tren jangka panjang. Ini adalah guncangan sesaat karena ekuilibrium baru yang permanen belum ditemukan.

Bagaimana dengan gosip bakal terjadi penarikan likuiditas dalam jumlah masif dari perbankan kita? Hal ini juga tidak masuk akal, yang tidak didukung pemahaman memadai. Mungkin orang berilusi, kepanikan menarik dana yang pernah terjadi pada saat krisis finansial 1998 bisa berulang. Padahal, situasi sekarang sangat berbeda. Dulu orang panik karena hampir semua bank menderita rugi besar sehingga modalnya negatif, kemudian diselamatkan melalui skema injeksi modal baru (rekapitalisasi) oleh pemerintah. Kini, permodalan bank-bank sangat kuat karena pemiliknya rajin menyuntikkan tambahan modal. Rasio kecukupan modal mencapai 17 persen, suatu level yang tinggi.

Lagi pula, berapa banyak likuiditas yang ditarik di bank? Saat ini aset total bank Rp 6.300 triliun, dengan simpanan masyarakat (DPK) Rp 4.600 triliun. Logikanya, tidak mungkin DPK sebanyak itu ditarik semua karena masyarakat masih memerlukan uang di bank untuk kemudahan bertransaksi.

Dana itu akan dibawa ke mana? Bursa saham di seluruh dunia sekarang lesu, harganya berguguran. Kalaupun dialirkan ke New York, di sana pun bakal segera jenuh juga. Ketika harga saham sudah terlalu tinggi, jalur yang akan ditempuh adalah penurunan, tidak bisa lagi mendaki. Jadi, jika baru sekarang mengalirkan dana ke New York, malah rugi. Terlambat.

Penarikan dana pada 1998 terjadi sebagai respons logis terhadap buruknya kinerja perbankan yang bercampur dengan krisis politik yang gawat. Adapun sekarang, kita sedang menyongsong momentum perbaikan ekonomi melalui stimulus fiskal sebagai dampak amnesti pajak serta membaiknya harga komoditas yang mendorong kenaikan permintaan agregat. Kepanikan yang berlebihan seyogianya tidak perlu dipelihara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar