Senin, 28 November 2016

Menuju Visi Global

Menuju Visi Global
Daoed JOESOEF  ;   Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
                                                    KOMPAS, 28 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pada edisi 5 November lalu, Kompas menyuguhkan buah pikiran Budi Santosa yang mempertanyakan apakah rektor harus akademisi, mirip dengan pertanyaan senada, yaitu apakah direktur rumah sakit harus dokter. Jawabannya adalah it depends (tergantung).

Sejauh yang mengenai universitas, institut, dan akademi (U, I, A), tergantung pada fungsi yang mau kita percayakan kepada ketiga lembaga pendidikan tinggi tadi dan, terkait itu, pada bagaimana pimpinannya mencari dana operasional yang diperlukan. Di AS, pimpinan perguruan tinggi (PT) biasanya dibagi dalam dua entitas: Board of Trustees yang bertugas mencari dana berhubung uang kuliah saja jauh daripada mencukupi dan President of University yang menangani urusan pendidikan akademis. Ketua Board of Trustees tak perlu akademisi, tetapi President of University diniscayakan seorang akademisi, minimal bergelar PhD atau doktor.

Mutu kesarjanaan mereka dan para guru besar diniscayakan guna menarik kepercayaan pihak luar-pemerintah dan swasta-bahwa mereka cukup mumpuni di bidang riset dan karena itu bisa dipercaya melaksanakan order riset yang jelas menghasilkan uang bagi universitas. Kemampuan riset ini menjadi satu gengsi akademis tersendiri, turut menentukan status akademis universitas.

Di Eropa, penanganan pendidikan, sejak jenjang terendah hingga tertinggi, dianggap tugas sentral pemerintah sejak zaman renaisans. Maka, pemimpin PT adalah akademisi murni karena tak bertugas manajerial, hanya administratif, itu pun masih didukung staf administratur profesional. Bahwa pemimpin PT rata-rata akademisi adalah kebiasaan yang berasal dari sistem gilde pada Abad Pertengahan.

Di Indonesia, sejauh mengenai PT swasta, ada yayasan yang bertugas mencari dana operasional. Maka, wajar rektornya akademisi. Untuk pengelolaan keuangan PTN, Syamsul Rizal (Kompas, 17/11) mengetengahkan ide yang pantas dipertimbangkan, lebih-lebih mengingat perluasan tugas PT yang akan dipaparkan di sini.

Berhubung itu pula di negeri kita, jangankan pimpinan PTN, mendikbud seharusnya juga seorang akademisi tanpa mengingkari fakta bahwa kedudukan menteri tergolong jabatan politik. Pejabat publik satu ini kerjanya berurusan dengan aneka nilai dan kebajikan yang tujuan esensialnya membuat makhluk manusia, yang terlempar secara acak di kalangan sejumlah besar materi dan bintang, mampu mengatasi ketakmampuannya, sanggup membantah their nothingness.

Apabila bersendikan kelompok teori keilmuan orang membentuk school of thought, berdasarkan sekluster nilai kita membangun suatu budaya, sejenis peradaban, sebuah cara hidup bersama yang baru di kalangan manusia. Maka pada kemajuan pendidikan tergantung bahwa penegasan kemerdekaan tak sebatas nominal, tetapi suatu realitas yang tak terbantah. Hal ini tentu tak bisa disamakan dengan jabatan menteri pertahanan, yang memang tak harus seorang tentara, karena kehendak politik menampilkan supremasi sipil dari sistem pemerintahan nasional.

Niat penyelenggaraan pendidikan tinggi sejak awal sudah didorong kesadaran agar pembelajarannya berpijak pada dunia nyata. Hal ini mengemuka lagi di Higher Education Summit 2016 di New Delhi, 11 November lalu, tetapi telah terabaikan untuk ditangani suatu kenyataan yang begitu mencolok dan sangat mendesak.

Faktor yang diabaikan

Pertama, suatu kompleksitas tak terhingga, suatu gejala multidimensional yang didesakkan oleh realitas. Dengan gamblang realitas ini menunjukkan betapa semua yang human adalah sekaligus demografis, sosiologis, historis, psikis, dan ekonomis. Jadi, sebuah jagat yang lebih kompleks dan lebih tak terduga, yang tidak terbayangkan oleh ilmu pengetahuan klasik. Kedua, akibat sampingan dari studi dan penalaran yang kian spesialistis. Aksi pemerintahan, bisnis, politik, dan pendidikan dilaksanakan oleh para spesialis. Progres memerlukan spesialisasi. Namun, spesialisasi berpotensi mengabaikan banyak hal yang diniscayakan hingga mengganggu progres itu sendiri dan, akhirnya, peradaban.

Jadi, ada masalah kompleksitas yang uncontrolable, menyimpang dari simplifikasi keilmuan klasik. Popper sudah mengingatkan pengertian simplifikasi itu sendiri adalah kompleks. Kita perlu membedakan antara mitos gegampang tentang simplisitas alam dan simplisitas mengagumkan dari teori yang memanunggalkan, dalam satu prinsip yang sama, gejala-gejala yang sangat berlainan. Hukum gravitas Newton, misalnya, sekaligus menanggapi jatuhnya apel ke bumi, tidak jatuhnya bulan ke bumi dan gerakan siklis pasang-surut.

Simplisitas alam adalah mitos ilmu pengetahuan klasik yang mencari kesatuan elementer dan hukum agung dari alam semesta. Pencarian ini memang sangat berhasil karena ia mencetuskan penemuan molekul, atom, dan partikel.

Namun, pencarian ini bermuara justru pada kompleksitas. Fisikalah yang menemukan, untuk "prinsip alam semesta", bukan hukum agung, tetapi interaksi antara order/disorder/organisasi; untuk "asal-usul alam semesta", bukan sebuah dasar, tetapi satu misteri katastropis; untuk "kejadian alam semesta", bukan hanya organisasi tetapi dispresi dan disintegrasi.

Kompleksitas adalah gejala yang didesakkan realitas dan karena itu tak pantas kita remehkan, apalagi kalau pembelajaran akademis harus berpijak pada dunia nyata. Paparan Prof Surono, tenaga ahli kebencanaan Kementerian ESDM (11/11), mengingatkan adanya kaitan masalah vulkanik atau aktivitas tektonis gunung api serta bencana alam lain-dari longsor hingga banjir bandang-dan masalah penataan ruang hunian di kawasan pegunungan tertentu Jawa Barat di lain pihak. Kompleksitas alami ini lagi-lagi menunjukkan ketidakberdayaan sistem-sistem pemikiran besar yang mengacu pada kesatuan ilmu pengetahuan dan penguasaan kejadian berkat ekonomika atau filosofi sejarah. Maka, sebaiknya ia menyingkir dan menyilakan tampil yang serba kompleks.

Berarti yang kita perlukan bukan suatu sintesis, tetapi suatu pemikiran trans dan multidisipliner, sejenis penalaran yang tak terbelah di perbatasan antardisiplin. Kita perlu meminati gejala multidimensional, bukan disiplin yang membelah suatu dimensi dalam gejala itu. Ada urgensi mengembangkan spirit inventif, berkemampuan membarui kesanggupan interogatif. Agar berhasil kita perlu menetapkan ranah intelektual yang berpotensi mewujudkan urgensi tadi. Kita perlu kiranya berpaling ke lembaga pendidikan tinggi.

Misi lembaga pendidikan tinggi

Pada misi ini kita tambah satu fungsi yang kian mengokohkan pijakannya di dunia nyata, berupa pelaksanaan sejenis pembelajaran khas, yaitu studi trans dan multidisipliner. Selama ini U, I, A hanya bersifat administratif, mengelola aspek-aspek manajerial dari fakultas yang dibawahinya, yaitu lembaga pelaksana pembelajaran akademis. Pembelajaran itu sendiri secara teknis sebenarnya ditangani bagian dari fakultas dengan sebutan berbeda: departemen, jurusan, school of study, yang umumnya berupa studi spesialistis.

Pembelajaran yang ditugaskan pada U, I, A berkenaan dengan studi trans dan multidisipliner dengan melibatkan semua jenis disiplin yang dikuliahkan oleh para fakultas yang dibawahinya. Adapun tugas administratif U, I, A dijalankan dengan bantuan tenaga profesional yang relevan.

Ketika menghadapi yang kecil tak terhingga manusia membuat mikroskop. Alat ini memungkinkannya menyelami kedalaman kehidupan, penemuan sel, mikroba dan virus, progres biologi dan obat-obatan. Sewaktu menghadapi yang besar tak terhingga manusia menciptakan teleskop. Instrumen ini memungkinkan spiritnya menguak keluasan kosmos, menjelajahi jalannya planet dan bintang dan menyiapkan makhluk human menguasai ruang angkasa. Dewasa ini kita berkonfrontasi dengan sebuah tak terhingga lain berupa, menurut Prof Dr Rosmay, infinitely complex. Namun, kali ini tanpa instrumen, kecuali otak telanjang, suatu intelegensi dan logika tanpa bantuan peralatan apa pun di hadapan keluasan kompleksitas kehidupan dan masyarakat.

Kita bingung oleh jumlah dan keberagaman unsur, relasi, interaksi, dan kombinasi yang mendasari fungsionalisasi sistem-sistem di mana kita merupakan sel- selnya. Kita tersesat oleh gejolak interdependensi dan dinamika alami mereka, yang membuat mereka bertransformasi justru pada saat kita mempelajarinya demi memahaminya, guna mengefektifkan pemanduannya. Komputer tentu saja instrumen yang diniscayakan, tetapi ia hanya suatu katalisator. Bahkan, ancaman nyata bukan pada saat komputer bisa berpikir seperti manusia, melainkan ketika manusia mulai berpikir seperti komputer.

Jadi, kita perlu instrumen baru yang memberdayakan para pemangku kepentingan dan penanggung jawab politik, ekonomi, industri, dan ilmu pengetahuan memahami dan memandu realitas. Alat baru itu "makroskop" (makro = besar, skopein = pengamat). Ia bukan alat sembarangan. Ia instrumen simbolis, cara berpikir dibentuk oleh metode dan teknik yang diambil dari aneka disiplin. Ia dianggap lambang dari cara (otak) human memahami dan akhirnya bertindak responsif dan sudah dipakai sejumlah besar penanggung jawab di bidang berlainan.

Jadi, tujuan esensial dari pembelajaran trans dan multidisipliner oleh U, I, dan A di level S-2 dan S-3 bukan menghasilkan jack of several trades, tetapi melalui pelatihan khas dari otak menghasilkan generalis, scholar atau savant, yang bervisi luas dengan pengetahuan ekstensif di banyak bidang. Adalah menggairahkan menemukan kembali metafisika dalam fisika, puisi dalam matematika, hasrat dalam sejarah, kehidupan dalam arkeologi, filosofi dalam administrasi politik dan ekonomi. Ilmu pengetahuan tampil, lebih sering dari sebelumnya, selaku salah satu dialog dengan alam yang paling menantang yang pernah dilakukan oleh makhluk manusia.

Pada waktu yang sama, para anggota sivitas akademika perlu lebih serius dan intensif membina lingkungan profesional immediate-nya, yaitu komunitas ilmiah, agar lebih kondusif. Komunitas nasional di mana pun terdiri dari berbagai subkomunitas: ilmiah, bisnis, politis, religius, artistik, dan lain-lain. Sejarah menunjukkan bahwa komunitas nasional maju bila subkomunitas ilmiahnya maju, berhubung ialah yang memasok aneka ide kemajuan ke subkomunitas lainnya.

Selama ini subkomunitas ilmiah di komunitas nasional kita lemah sekali, terombang-ambing di antara subkomunitas politik dan bisnis, menjadi sekadar pemasok "Dr HC". Para anggota sivitas akademika diniscayakan lebih serius membina subkomunitas ilmiah karena U, I, A merupakan satu-satunya modal bagi eksistensi subkomunitas itu. Di negeri-negeri maju subkomunitas ini sudah dipenuhi unsur konstruktif-fungsional yang diperlukan berupa: lembaga riset, jurnal ilmiah, asosiasi akademisi, dan periset.

Dewasa ini ilmu pengetahuan (IP) sudah merupakan the dominant contemporary from of communicable knowledge. Komunikasi yang lancar, intensif, dan ekstensif dari IP tersebut merupakan tradisi akademis. IP itu sendiri menjadi gejala sosial, suatu capaian intelektual par excellence. Ia bukan produk dari satu masyarakat tertentu, tetapi dari satu cara pembelajaran tertentu yang terbuka, dikomunikasikan begitu rupa hingga menjadi suatu medium sosial di mana IP dipolakan, melalui mana IP dikembangkan dan dengan mana IP ditransmisikan di kalangan orang yang sama-sama terlibat dalam kegiatan penyidikan intelektual yang serius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar