Rabu, 23 November 2016

Penjara Tak Membuatnya Jera

Penjara Tak Membuatnya Jera
Noor Huda Ismail  ;   Yayasan Prasasti Perdamaian
                                                  TEMPO.CO, 22 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bom gereja meledak lagi. Kali ini sasarannya adalah Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur. Pelakunya, Juhanda, mantan narapidana teroris bom buku 2011. Sebagai bangsa, kita telah "terperosok pada lubang yang sama".

Sejak bom Hotel Marriot kedua pada 2009, aksi terorisme di Indonesia melibatkan mantan narapidana terorisme. Keterlibatan yang kedua kalinya, mereka naik "kasta" karena adanya peningkatan peran dan aksi. Misalnya, Urwah, salah satu pelaku pengeboman Hotel Marriot 2009. Ketika pertama kali Urwah ditangkap, ia hanya berperan menyembunyikan informasi keberadaan Noordin M. Top. Dalam aksi kedua, Urwah menjadi salah satu perancang serangan maut itu. Demikian juga dengan Afif alias Sunakim, pelaku bom Sarinah 2016. Awalnya, Afif hanya terlibat dalam pelatihan militer di Aceh pada 2010. Setelah bebas, ia menjadi pelaku utama serangan di awal tahun ini.

Pola tersebut terulang kembali dengan pelaku serangan bom di Samarinda. Wajar jika kemudian Kepala Polri Jendral Tito Karniavan menyatakan niat negara untuk mengevaluasi program deradikalisasi yang selama ini dijalankan. Mungkin, langkah evaluasi pertama yang perlu kita lakukan adalah dengan memahami "titik balik" kehidupan narapidana terorisme di dalam dan di luar penjara.

Pada kasus Juhanda, terlihat jelas bahwa penjara justru menjadi "sekolah" yang membuatnya naik "kasta". Dalam wawancara dengan penulis, Pepi Fernando, pelaku utama bom buku 2011 mengatakan: "Dalam aksi yang kami lakukan (bom buku 2011), Ju (panggilan Juhanda) tidak terlibat apa pun. Semua aksi di Jakarta dan dia (Ju) di Aceh". Dalam kasus terbarunya ini, Ju "dikorbankan oleh mentor-mentor pengecut. Mereka memberi Ju beban yang tidak berani mereka pikul sendiri".

Bagi Pepi, para mentor itu bukanlah sosok misterius yang susah diendus oleh aparat karena mereka ini adalah para tahanan teroris pendukung ideologi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang biasa disebut sebagai ISIS-ers, di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang. Kurun 2011–2014 tampaknya telah menjadi "titik balik" kehidupan dan komitmen Juhanda. Ia dikelilingi oleh narapidana ISIS-ers dan bahkan dinikahkan dengan seorang akhwat (wanita) dari jaringan ISIS-ers di Kalimantan.

Rupanya, penjara tidak menjadikan para narapidana terorisme ini jera dan putus dengan dunia luar. Mereka sangat aktif memantau apa yang terjadi di luar tembok penjara melalui telepon pintar yang mereka dapatkan secara sembunyi-sembunyi. Setelah deklarasi ISIS oleh Al Baghdadi pada 2014, narapidana terorisme terbagi menjadi dua kelompok besar.

Pertama, mereka yang dengan gegap gempita mendukung. Inilah yang disebut kaum ISIS-ers. Sebagai bukti komitmen mereka terhadap ISIS, secara umum mereka menolak bersikap kooperatif terhadap pembinaan dari negara, terutama pihak lembaga pemasyarakatan dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Bagi mereka, pegawai penjara dan staf BNPT adalah Anshorut toghut atau pendukung penguasa lalim yang tidak tunduk terhadap hukum Islam. Sikap resistansi mereka ini ditunjukkan dengan membuat kelompok kecil dan melakukan konsolidasi antar-mereka.

Kedua, kelompok yang menolak ISIS. Mereka ini lebih lunak, kooperatif, dan menerima program pembinaan, baik dari LP maupun institusi lain, seperti lembaga swadaya masyarakat. Pada kelompok ini, BNPT relatif telah berhasil merangkul sebagian napi terorisme di dalam dan di luar penjara dengan membantu mereka dengan pemberian modal untuk usaha kecil.

Karena penolakan para ISIS-ers ini, program pembinaan dari LP dan BNPT hampir tidak menyentuh mereka. Negara "kedodoran" menyikapi jenis narapidana seperti ini. Bahkan, ISIS-ers juga enggan mengurus hak-hak mereka, seperti pembebasan bersyarat. Mereka menilai hak-hak semacam itu bermuatan ideologis karena ada persyaratan harus menandatangani surat kesetiaan kepada NKRI. Karena itu, mereka lebih memilih bebas murni.

Fenomena resistansi ISIS-ers lumrah terjadi di LP yang memiliki warga binaan kasus terorisme. Misalnya di LP Pasir Putih Nusakambangan, terdapat sekitar 23 orang narapidana kasus terorisme. Delapan di antaranya bersikap kooperatif dan menolak memberikan dukungan kepada ISIS. Selebihnya memilih menjadi pendukung gerakan radikal ISIS dan menolak pembinaan. Yang tergolong kelas ideolog, seperti Aman Abdurrahman, ditempatkan di blok isolasi. Adapun pengikut ISIS yang lain ditempatkan satu blok tersendiri.

Juhanda berada dalam kelompok yang menolak program deradikalisasi ini. Ia kemudian justru "dibina" oleh ISIS-ers bernama Agung alias Ayas asal Samarinda, yang terlibat dalam pelatihan militer Poso, di bawah komando Santoso. Meskipun Juhanda tidak kooperatif, ia masih mendapatkan remisi Idul Fitri selama satu bulan pada 2014. Sebelumnya, ia juga mendapatkan remisi khusus pada oktober 2013 selama satu bulan dan remisi umum pada Agustus 2013. Dengan akumulasi remisi tersebut, Juhanda bebas murni pada 28 Juli 2014.

Pada fase inilah barangkali BNPT kehilangan momentum emas untuk melakukan koordinasi pihak terkait, seperti dinas sosial, tokoh masyarakat, atau bahkan pihak keluarga Juhanda, ketika ia bebas. Dalam rentang waktu dua tahun setelah bebas, negara dan masyarakat tidak hadir dalam kehidupan Juhanda. Ia justru diterima dengan tangan terbuka oleh komunitas ISIS-ers di Samarinda atas rekomendasi Agung. Dalam kelompok kecil inilah "titik balik" Juhanda mendorongnya menjadi pelaku bom di Samarinda yang menewaskan Intan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar