Jumat, 25 November 2016

Potret Negara Hukum

Potret Negara Hukum
Todung Mulya Lubis  ;   Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia;
Partner Senior Lubis, Santosa and Maramis Law Firm
                                                    KOMPAS, 25 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kasus yang membelit Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat ini adalah studi kasus yang menarik tentang negara hukum yang dalam bahasa asingnya disebut sebagai rechstaat atau state based on rule of law.

Ada perbedaan dalam kedua terminologi di atas, tetapi tulisan ini berasumsi bahwa negara hukum adalah negara di mana supremasi hukum itu menjadi dasar, berlaku untuk semua, tidak diskriminatif dan memberikan keadilan. Untuk itu, berbagai peraturan perundangan diberlakukan bersamaan dengan yurisprudensi dan doktrin hukum yang berlaku. Semua prinsip hukum internasional yang berlaku secara universal juga dijadikan rujukan di mana perlu. Pokoknya, dalam negara hukum berlaku adagium "hukum adalah panglima".

Dalam kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok, konsep negara hukum itu tidak sepenuhnya dimengerti oleh banyak kalangan, terutama yang menentang Ahok. Secara sistematis Ahok sudah dinyatakan bersalah.

Dan kalau kita membaca media sosial, maka kita akan menemukan banyak sekali pernyataan yang sudah mengambil hukum ke tangan mereka. Pokoknya Ahok sudah bersalah meski tanpa proses peradilan yang menyatakan dia bersalah. Di sini asas praduga tidak bersalah tak lagi diakui keberadaannya. Konsep due process of law sama sekali tak hadir.

Laporan kepada pihak kepolisian sudah dimasukkan bahwa Ahok dituduh melakukan penistaan agama. Pihak kepolisian sesungguhnya sedang melakukan penyelidikan dengan memanggil banyak pihak yang diklasifikasikan sebagai saksi fakta dan ahli. Namun, pihak kepolisian dianggap lamban dan dicurigai melindungi terlapor Ahok. Lalu sebuah demonstrasi besar dengan massa ratusan ribu orang terjadi beberapa waktu lalu.

Di situ tuntutan kembali disuarakan dengan lantang bahwa Ahok harus dinyatakan sebagai tersangka dan segera ditahan. Sepertinya proses hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian hanyalah proforma karena status Ahok sebagai tersangka sudah merupakan harga mati dan Ahok juga mesti ditahan. Ahok juga harus dinyatakan tidak bisa mengikuti pilkada di Jakarta.

Dengan segala hormat terhadap suara-suara yang menolak Ahok dan menuduhnya melakukan penistaan agama, saya tetap berpendapat bahwa proses hukum harus dilalui sesuai dengan praktik hukum acara pidana yang berlaku. Ahok mempunyai hak untuk dianggap tidak bersalah berdasar asas praduga tak bersalah.

Dia berhak mendapatkan semua hak hukumnya untuk membela dirinya di hadapan penyidik, penuntut umum, dan majelis hakim. Dia juga berhak membela dirinya di hadapan publik. Namun, Ahok seperti kehilangan semua haknya, padahal dia adalah juga warga negara, subyek hukum, yang hak-haknya dijamin oleh peraturan perundangan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia termasuk Deklarasi dan Kovenan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Hormati proses hukum

Sekarang Ahok sudah dinyatakan sebagai tersangka berdasar gelar perkara yang dilakukan oleh pihak kepolisian secara terbuka. Gelar perkara ini masih dalam tingkat penyelidikan, sesuatu hal yang mungkin belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, karena pihak kepolisian menghendaki keterbukaan dan akuntabilitas, gelar perkara ini diadakan walaupun kesan yang timbul adalah bahwa gelar perkara ini dilakukan karena tekanan yang begitu besar pada pihak kepolisian.

Hanya saja, apakah gelar perkara pada tingkat penyelidikan dengan menghadirkan semua saksi fakta, ahli, dan para pihak tak menggerus independensi dan imparsialitas proses hukum itu sendiri? Siapa yang menjamin bahwa saksi fakta dan ahli tak mengubah kesaksian dan keterangan ahlinya nanti ketika penyidikan dimulai? Ketika pengadilan dimulai?

Sukar untuk membantah bahwa para saksi fakta dan ahli setelah mengikuti gelar perkara akan menimbang kembali kesaksian dan keterangan ahli mereka karena hendak menyelamatkan diri mereka dari tekanan opini publik yang menyorot semua proses penyidikan tersebut. Siapa yang berani menjamin bahwa para saksi fakta dan ahli tidak akan diintervensi oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan untuk menghukum atau membebaskan Ahok?

Dengan kata lain, proses hukum kasus Ahok sangat rentan terhadap intervensi yang pada gilirannya akan memperkecil ruang bagi penegakan hukum dan penciptaan keadilan. Peradilan terhadap Ahok bisa-bisa menjadi peradilan opini publik.

Dalam negara hukum, proses peradilan merupakan proses yang bebas dan merdeka dari semua bentuk campur tangan kekuasaan ataupun keuangan. Keberadaan independency of judiciary adalah salah satu persyaratan negara hukum.

Penanganan kasus Ahok memberikan alasan buat kita semua khawatir bahwa harga mati Ahok sudah menista agama dan harus dihukum penjara akan membuat majelis hakim mempunyai ruang yang sempit dan kehilangan kebebasan dan kemerdekaannya. Apalagi, opini publik dan demonstrasi kalau diadakan pastilah akan membuat lutut para hakim gemetar. Nalar bisa jadi akan menyerah pada tekanan.

Penulis tak mempersoalkan proses hukum terhadap Ahok karena proses hukum ini sesuatu yang harus dihadapi oleh Ahok. Biarkan proses hukum itu berjalan sesuai asas-asas hukum acara pidana yang berlaku. Namun, hormati due process of law, hormati hak asasi manusia, dan jauhkan intervensi dari mana pun.

Apa pun hasil proses hukum nantinya semua pihak mesti menerima dengan lapang dada meski tak menerima substansi putusan tersebut. Inilah esensi negara hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar