Rabu, 30 November 2016

Siaga TNI-Polri Jelang 212

Siaga TNI-Polri Jelang 212
Bambang Soesatyo  ;   Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar
                                              KORAN SINDO, 29 November 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Apakah NKRI dan Pemerintah RI saat ini sedang menghadapi ancaman yang teramat-sangat serius? Mudah-mudahan saja, suatu hari nanti rakyat akan diberi tahu tentang sosok-sosok petualang politik yang ingin melakukan makar.

Hingga Sabtu (26/11) pekan lalu Presiden Joko Widodo bahkan masih mengingatkan urgensi menjaga keberagaman Indonesia. Berbicara kepada komunitas nelayan di Pelabuhan Perikanan Untia, Makassar, Presiden menegaskan, “Saya ingin mengingatkan mengenai keberagaman kita, kemajemukan kita. Bangsa kita ini bermacam- macam, beragam.

Sukunya ada 626 dari Sabang sampai Merauke. Bahasa lokal ada 1.100-an, macam-macam. Inilah anugerah Allah yang diberikan kepada bangsa kita,” kata Presiden. Praktis sepanjang paruh kedua November 2016, publik dipancing untuk menyimak beberapa kata dan ungkapan yang sebelumnya jarang didengungkan. Antara lain kata makar, keutuhan NKRI, maklumat kapolri, dan maklumat para kapolda, serta ada rencana menguasai Gedung DPR.

Pertanyaannya, apa yang sesungguhnya sedang terjadi di bawah permukaan yang tidak diketahui masyarakat kebanyakan? Benarkah ada petualang atau avonturir politik yang coba memperkeruh suasana dengan tujuan akhir menggulingkan pemerintahan yang sah? Benarkah ada kekuatan tertentu yang menggalang dan mengerahkan massa untuk menguasai Gedung DPR? Penguasaan massa atas Gedung DPR dipersepsikan sebagai upaya mengulang skenario 1998—saat mahasiswa menguasai Gedung DPR— untuk kemudian memaksakan Sidang Umum MPR.

Semua yang mengemuka akhir-akhir ini adalah persoalan yang sangat serius dan sensitif. Memang, semua berawal dari pernyataan bersama Kapolri dan Panglima TNI. Dalam konferensi pers bersama di Mabes Polri, Jakarta, Senin (21/11) Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengungkap informasi tentang ada rencana “penyusup” pada aksi demo lanjutan 4 November (semula direncanakan 25 November 2016). Para penyusup itu punya agenda tersembunyi, yakni akan menduduki Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

“Info yang kami terima, 25 November ada aksi unjuk rasa. Namun, ada upaya tersembunyi dari beberapa kelompok yang ingin masuk ke dalam DPR, berusaha ‘menguasai’ DPR,” kata Jenderal Tito. Blak-blakan Jenderal Tito juga mengatakan bahwa Polri tahu ada sejumlah pertemuan yang membahas soal rencana menguasai DPR dan menggerakkan massa. Tak hanya sampai di situ.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo juga mengaku pihaknya telah dihubungi seorang ulama besar yang menjelaskan ada rencana makar. “Seorang ulama besar mencium ada penggulingan (pemerintahan) dan memberi tahu saya,” kata Jenderal Gatot di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, Kamis (24/11). Karena itu, Polri bersama TNI akan menjaga ketat demonstrasi itu jika aksi itu berpotensi pada upaya menggulingkan pemerintahan.

Jumlah prajurit TNI-Polri yang diturunkan akan lebih banyak dari aksi sebelumnya. Termasuk mengatur strategi jika berujung pada makar. “Kalau itu bermaksud menjatuhkan atau menggulingkan pemerintah, termasuk pasal makar,” ujar Jenderal Tito. Agar keadaan tidak semakin memburuk, Kapolri Jenderal Tito terpaksa mengeluarkan maklumat yang berisi ketentuan untuk demo 2 Desember 2016.

Dalam maklumat itu, Polri tidak mengizinkan aksi gelar sajadah di Jakarta maupun di daerah pada Jumat, 2 Desember 2016. Bagi Polri, meski kebebasan mengemukakan pendapat diatur dalam undangundang, itu tidak absolut. Menurut Jenderal Tito, aksi Bela Islam III yang akan menggelar sajadah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman hingga MH Thamrin akan mengganggu hak orang lain di jalan protokol tersebut. “Maka itu, kami akan melarang kegiatan itu,” tegas Jenderal Tito.

Jika aksi itu tetap dilaksanakan, akan dibubarkan paksa. Bila ada perlawanan dari massa, bahkan akan dikenakan Pasal 108 KUHP yang ancaman hukumannya lima tahun penjara. Maklumat itu kemudian ditindaklanjuti oleh sejumlah kapolda, termasuk Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan. Sedangkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan jajarannya bersama Polri siap menghadapi upaya makar yang diduga disusupkan dalam aksi 2 Desember 2016. Prajurit TNI sudah disiagakan menangkal upaya menjatuhkan pemerintahan yang sah.

“Saya sudah menyiapkan para Pangkotama (Panglima Komando Utama) menyiapkan prajurit untuk dilatih, disiapkan yang sehat. Untuk diketahui masyarakat NKRI bahwa prajurit TNI sejak dia masuk, dididik, disumpah. Para prajurit saya sudah memenuhi syaratsyarat dari agama apa pun yang dianut untuk melakukan jihad. Saya peringatkan, prajurit saya bukan penakut,” tegas Jenderal Gatot dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta.

Petualang Politik

Polri dan TNI kemudian sibuk menyiagakan prajurit. Pada Sabtu (19/11) misalnya empat satuan setingkat kompi (SSK) Brigade Mobil Kepolisian Daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara dikirim ke Jakarta. Satuan dengan jumlah personel 400 prajurit itu dikerahkan untuk membantu pengamanan di Jakarta.

Apa yang bisa dimaknai dari pernyataan bersama Kapolri dan Panglima TNI tentang makar serta peningkatan kesiagaan prajurit Polri dan TNI di sejumlah daerah? Sesungguhnya, baik Kapolri maupun Panglima TNI ingin mengatakan atau menjelaskan kepada semua elemen masyarakat bahwa ada petualang atau avonturir politik yang ingin menunggangi aksi umat menyuarakan aspirasi atas proses hukum kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok.

Seperti diketahui, sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) berencana menggelar aksi Bela Islam III yang semula dijadwalkan 25 November, kemudian digeser ke 2 Desember 2016. Warning dari Panglima TNI dan Kapolri itu sebaiknya tidak dianggap remeh atau disederhanakan. Harus dipahami bahwa dalam merespons setiap ancaman, baik TNI maupun Polri memiliki pola pendekatan yang berbeda dengan asumsi atau persepsi masyarakat sipil.

Polri dan TNI diwajibkan untuk tidak menoleransi ancaman sekecil apa pun. TNI dan Polri bahkan akan dipersalahkan jika menyederhanakan setiap ancaman yang dapat merusak stabilitas keamanan atau mengganggu ketertiban umum. Dengan begitu, ketika Kapolri dan Panglima TNI mengemukakan ada agenda makar, pijakan dari pernyataan bersama itu pastilah informasi intelijen. Masyarakat sipil boleh saja menyederhanakan informasi intelijen.

Tetapi, Panglima TNI, Kapolri, bahkan Presiden sekali pun, harus memercayai informasi intelijen sebab baik komunitas intelijen dari Badan Intelijen Negara (BIN), Polri, maupun komunitas intelijen TNI adalah mata dan telinga negara. Karena itu, sah adanya ketika Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo percaya bahwa Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian tidak asal bicara soal ada upaya makar.

Jenderal Gatot yakin bahwa pernyataan Kapolri itu sudah berbasiskan data dan informasi yang akurat. Ada kemungkinan pergerakan massa dalam jumlah besar pada demonstrasi di Jakarta akan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk membuat kondisi keamanan Indonesia bergejolak. TNI dan Polri tentu saja belajar dari ricuh skala kecil yang terjadi setelah aksi damai 4 November. Ricuh serupa, apalagi dalam skala yang lebih besar, tentu saja tidak bisa dibiarkan terjadi lagi.

Maka, wajar jika Polri dan TNI menjadi lebih proaktif dalam mengelola keamanan terkait rencana aksi Bela Islam III itu. Sisi positif dari kesiagaan Polri dan TNI itu adalah mencegah terjadi hal yang lebih buruk. Tidak satu pun komponen masyarakat yang ingin melihat kondusivitas dirusak oleh para petualang politik. Hak masyarakat untuk mengawal proses hukum kasus Ahok harus dihormati. Karena itu, aksi Bela Islam III tidak dilarang.

Sebaliknya, Polri dan TNI justru ingin melindungi dengan memberi pengawalan ketat atas aksi itu. Namun, karena aksi damai Bela Islam III itu berpotensi disusupi oleh para petualang politik untuk merusak stabilitas pemerintahan, menjadi kewajiban TNI dan Polri mencegahnya. Kesiagaan TNI dan Polri saat ini merupakan respons terhadap para petualang politik yang coba-coba menunggangi aksi damai Bela Islam III.

Publik pasti penasaran dan ingin tahu siapa saja yang ingin menunggangi aksi damai itu. Maka, pada saatnya nanti, Polri diharapkan mau mengungkap identitas para pihak yang ingin melakukan makar itu. Pada akhirnya pernyataan bersama Kapolri dan Panglima TNI tentang ada upaya makar dengan menunggangi rencana aksi damai 2 Desember (212) tentu harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Terutama karena pernyataan itu agak sensitif dalam konteks perpolitikan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar