Rabu, 28 Desember 2016

Haruskah Hakim Pejabat Negara?

Haruskah Hakim Pejabat Negara?
Nasir Djamil  ;   Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS
                                              KORAN SINDO, 27 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Judul di atas sebenarnya mewakili sebuah kegelisahan besar tentang keberadaan hakim di negeri ini. Sejak awal banyak undang-undang menyebutkan hakim merupakan pejabat negara.

Namun faktanya sepanjang 15 tahun terakhir hakim justru sebagai pegawai negeri sipil. Kedudukan hakim sebagai pejabat negara pun menjadi pertanyaan besar. Keriuhan status hakim sebagai pejabat negara belakangan ini mendesakkan kesadaran baru akan esensi pejabat negara dalam ranah perbaikan penegakan hukum di Indonesia.

Sepanjang 15 tahun terakhir, perdebatan status hakim tidak kunjung melahirkan perubahan signifikan terhadap manajemen pengelolaan hakim sebagai pejabat negara. Pemerintah seolah setengah hati di balik kekhawatiran pembebanan keuangan negara. Akibatnya, hakim pun saat ini mengalami dilema.

Di satu sisi dijadikan pejabat negara, di sisi yang lain terasa hanya sekadar pegawai negeri sipil (PNS). Ketentuan Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5/ 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara secara eksplisit menyatakan hakim sebagai pejabat negara. Hal ini semakin menegaskan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48/ 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Namun demikian, pengaturan di kedua undang-undang ini dirasa tak cukup memberi kepastian hukum bagi hakim sebagai pejabat negara. Proses kepangkatan hakim masih mengacu pada kepangkatan PNS yang tak lazim lagi digunakan untuk hakim sebagai profesi independen. Tak pelak, institusi peradilan akhir-akhir ini masih mendapat sorotan tajam.

Label pejabat negara dengan segala fasilitas dan hak keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94/2012 Tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung, tak juga mengurangi isu mafia peradilan yang masih gentayangan beroperasi di pengadilan.

Hakim tak lagi independen ketika masih berurusan dengan sistem kepangkatan dan rotasi ala PNS. Bagaimanapun di era Reformasi saat ini masyarakat mendambakan kekuasaan kehakiman yang lebih independen. Hakim dituntut lebih peka pada perkembangan zaman.

Predikat peradilan sebagai ”benteng terakhir” (laatste toevlucht ) bagi para pencari keadilan tentu semakin dipertanyakan ketika terjadi dualisme pengaturan jabatan hakim. Sejatinya, hakim tak lagi merdeka dalam memegang kekuasaan kehakiman, ketika ranah eksekutif masih mengikat persoalan manajemen kelembagaan peradilan.

Ada keinginan kuat untuk memperbaiki kekuasaan kehakiman agar lembaga yudikatif bisa keluar dari cengkeraman kekuasaan dan pengaruh langsung pemerintah. Pengaruh ini tidak hanya secara teknis yudisial, namun juga secara administratif dan finansial. Mau tidak mau dibutuhkan kemauan politik hukum tentang penyatuatapan kekuasaan kehakiman dengan penegasan bahwa hakim adalah pejabat negara, bukan PNS yang bekerja di lingkungan lembaga eksekutif.

Lima Isu Pokok

Seperti diketahui, ada lima isu pokok terkait kekuasaan kehakiman, yakni (1) konsep kebebasan, kemerdekaan, kemandirian, dan independensi kekuasaan kehakiman; (2) kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, moralitas, integritas, dan etika hakim; (3) kelembagaan, struktur organisasi, rekrutmen, kepegawaian, pembinaan, penggajian, dan kesejahteraan; (4) hubungan antara lembagalembaga negara dengan kekuasaan kehakiman; (5) peran dan fungsi lembaga kehakiman dalam mewujudkan keadilan, negara hukum, dan pembangunan hukum di Indonesia.

Kelima isu tersebut secara substansial dan fungsional saling mengait satu sama lain, bahkan dapat disebut sebagai lima pilar utama dalam bangunan kekuasaan kehakiman Indonesia, namun sekaligus pula sebagai masalah utama yang dihadapi oleh kekuasaan kehakiman kita saat ini.

Di sisi lain, independensi atau kemerdekaan pemegang kekuasaan kehakiman atau badan-badan kehakiman/peradilan merupakan salah satu pilar utama untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah rule of law.Hal ini senada dengan pemikiran negara hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi International Commission of Jurists di Bangkok tahun 1965.

Forum ini menekankan pemahaman tentang apa yang disebut sebagai the dynamic aspects of the rule of law in the modern age (aspekaspek dinamika penegakan hukum dalam abad modern). Dikatakan bahwa ada enam syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah rule of law.

Satu di antaranya adalah peradilan atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak. Berdasarkan syarat tersebut, jelaslah bahwa independensi kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar yang pokok. Apabila komponen ini tidak ada, maka kita tidak bisa berbicara lagi tentang negara hukum atau negara berdasar atas hukum.

Hal ini semakin dipertegas dengan ketentuan dalam konstitusi pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 dengan seluruh peraturan pelaksanaannya. Hal ini memberi arti betapa pentingnya independensi atau kemerdekaan badan-badan peradilan dan kekuasan kehakiman tersebut. Apalagi hal ini secara universal telah diterima dan ditekankan dalam berbagai instrumen hukum internasional. Ketentuan internasional ini menjamin soal independensi atau kemerdekaan badan-badan peradilan.

Cek Kosong

Namun demikian, independensi bukan cek kosong yang bisa semaunya dijalankan hakim. Dalam membuat putusan, hakim bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan kata-kata dalam diktum putusannya. Hakim dapat diminta pertanggungjawabannya secara hukum ketatanegaraan.

Artinya, dalam konteks kebebasan hakim (independency of judiciary), hal ini haruslah diimbangi dengan pasangannya, yaitu akuntabilitas peradilan (judicial accountability), political accountability/legal accountability of state, dan personal accountability of the judge.

Kebebasan hakim harus didasarkan pada asas-asas umum peradilan yang baik (the general principles of good court)serta kemungkinan impeachment terhadap hakim. Agar independensi dapat diemban dengan baik dan benar, hakim mutlak harus mempunyai kekuatan moral dan intelektual yang tangguh, sehingga memiliki kendali nurani dan pikiran yang bisa memberikan arahan dalam bertindak menjalankan aktivitas kehakimannya.

Maka menjadi hakim berarti menjadi moralis, menjadi intelektual, menjadi cendekiawan yang tidak pernah berhenti berpikir, menjaga kebersihan diri, dan memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sebagai ”nyawa” yang menggerakkan syaraf-syaraf keadilan hakim, independensi juga terkait paradigma, sikap, etos, dan etika.

Semua ini adalah keseluruhan totalitas fisik dan nonfisik hakim sebagai wakil Tuhan. Sebagai penegak keadilan di muka bumi, hakim harus memiliki legalitas moral, intelektual, sosial dan spiritual yang kokoh. Sekalipun independensi syarat mutlak terbangunnya pengadilan yang dapat dipercaya, tetapi prinsip tersebut bukanlah kekebalan (imunitas). Penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan dan dilaksanakan dengan baik dan benar.

Independensi

Independensi hakim merupakan syarat mutlak (conditio sine quanon) tegaknya hukum dan keadilan yang harus mendapat jaminan konstitusional yang kuat. Hakim harus bebas dari pengaruh, bujukan, tekanan, ancaman atau gangguan secara langsung atau tidak langsung.

Tentu, independensi ini harus juga diawasi agar tidak terjadi manipulasi, menjadikan hakim memiliki ”jaket kebal hukum” atau bungker kejahatan. Tentu, pemberian status pejabat negara bagi hakim berbanding lurus dengan predikat ”yang mulia” yang selama ini melekat pada diri hakim.

Ketentuan sejumlah peraturan perundang- undangan sudah pula menampakkan komitmen, tekad, dan politik hukum untuk memberikan jaminan kebebasan dan kemerdekaan hakim. Beragam fasilitas dan tunjangan bukanlah semata-semata tujuan hakim berstatus pejabat negara. Namun ada pertanggungjawaban yang melekat dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara.

Hakim berdiri secara independen, tidak boleh dicampuri, dipengaruhi atau diintervensi, sehingga menyebabkan hakim keluar atau menyimpang dari keharusan normatif, moral, dan etika dalam menjalankan ruang kekuasaan tersebut. Akhirnya, keinginan berbagai pihak dalam merumuskan pengelolaan ruang jabatan hakim dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim yang menjadi prioritas dalam program legislasi nasional pada 2017, harus dimaknai sebagai upaya-upaya positif dalam mewujudkan pelaksanaan independensi hakim yang akuntabel. Semoga! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar