Selasa, 27 Desember 2016

Mendorong Efisiensi Ekonomi

Mendorong Efisiensi Ekonomi
A Prasetyantoko  ;   Ekonom di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
                                                    KOMPAS, 26 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sudah lebih dari delapan tahun sejak krisis merebak, perekonomian global terus mengalami stagnasi akut. Akhir tahun ini, suasana perekonomian, baik global maupun domestik, sama-sama tak menggairahkan. Bahkan, pada 2017, proyeksinya semakin tak menentu. Kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, beberapa waktu lalu, meskipun sudah diantisipasi sebelumnya, tetap saja memunculkan risiko, khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia.

Dalam suasana global yang lesu, proyeksi pertumbuhan ekonomi domestik pun melemah. Bank Indonesia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,1-5,5 persen menjadi 5-5,4 persen. Bahkan, pemerintah pada Agustus lalu sudah terlebih dulu menurunkan asumsi pertumbuhan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2017 dari 5,3 persen menjadi 5,1 persen.

Kita masih beruntung karena hanya mengalami fase moderasi, bukan stagnasi seperti negara maju. Bahkan, lembaga pemeringkat ternama, Fitch Ratings (Fitch), beberapa hari lalu telah menaikkan proyeksi surat utang pemerintah dari stabil menjadi positif. Dampaknya, bunga penerbitan surat utang pemerintah mulai turun, baik di pasar sekunder maupun primer.

Meski demikian, bukan berarti tantangannya lebih ringan. Di negara maju sekarang ini tengah dilakukan berbagai upaya restrukturisasi secara masif, khususnya inovasi berbasis digital. Maka, kita pun tak boleh membuang waktu dengan mengarahkan kebijakan ekonomi 2017 lebih fokus pada upaya restrukturisasi.

Pelambatan ekonomi global bagaimanapun mempersempit ruang gerak aktivitas ekonomi sehingga tensi persaingan dipastikan meningkat. Di dalam negeri, menyempitnya ruang persaingan masih ditambah dengan inefisiensi di segala lini dan sektor, yang ditandai ekonomi biaya tinggi.

Laporan Daya Saing Global 2016-2017 menyoroti penurunan tingkat keterbukaan ekonomi. Hal ini diyakini akan merugikan persaingan serta mengakibatkan pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan sulit diciptakan. Dalam laporan tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-41 atau turun dari tahun sebelumnya, yakni di peringkat ke-37. Kendati berbagai upaya transformasi terus dilakukan, khususnya di bidang infrastruktur, bidang lain masih menyimpan potensi inefisiensi serius.

Jika pada tahun sebelumnya masalah infrastruktur menempati peringkat pertama sebagai faktor yang menghambat bisnis, survei tahun ini menempatkan korupsi dan inefisiensi pemerintah sebagai dua masalah pokok. Dengan demikian, agenda ke depan cukup jelas, yaitu mempercepat transformasi birokrasi dan fokus pada faktor penopang produktivitas ekonomi, seperti kesehatan masyarakat dan pendidikan.

Kesiapan teknologi justru melorot 6 peringkat menjadi posisi ke-91, karena penetrasi teknologi informasi dan komunikasi yang masih rendah. Hanya seperlima populasi yang sudah memiliki akses internet dan hanya 1 koneksi pita lebar untuk setiap 100 penduduk. Ruang perbaikan bisa dilakukan dengan menggabungkan pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi untuk memperbaiki kinerja pemerintah dan dunia usaha.

Paket kebijakan ekonomi XIV mengenai perdagangan elektronik atau e-dagang bisa menjadi momentum untuk menata struktur ekonomi agar lebih efisien. Inovasi membutuhkan ekosistem yang baik, mulai dari aspek pendanaan, regulasi, hingga kapasitas manusianya. Untuk itu, perlu langkah lanjutan agar inovasi terus dilanjutkan, seperti insentif pajak bagi perusahaan yang mengalokasikan dana untuk penelitian dan pengembangan.

Transformasi memang menjadi salah satu kunci pemerintahan Presiden Joko Widodo. Majalah The Economist (edisi 10-16/12, 2016) menyoroti kembalinya menteri reformis. Pada level daerah, ada beberapa kisah sukses yang menjanjikan. Kabupaten Banyuwangi di Jawa Timur yang dulunya terpencil dan tak diperhitungkan kini memainkan peran sangat penting karena kemampuan menggabungkan aspek kewirausahaan dan teknologi digital. Tidak hanya memfasilitasi dunia bisnis, tetapi juga memaksa pelayanan birokrasi menjadi lebih efisien dan transparan.

Elemen penting dari kesuksesan tersebut adalah kepemimpinan pemerintah dan kebiasaan yang berubah dari berbagai lapisan masyarakat. Teknologi hanyalah faktor pendukung. Semangat birokrasi yang membuka diri pada prinsip kewirausahaan penting direplikasi, baik untuk daerah lain maupun pada level nasional.

Mengawali tahun 2017 perlu diupayakan semangat kewirausahaan dari kalangan birokrat dengan bantuan teknologi digital. Arahnya, membuat proses bisnis menjadi lebih efisien, baik pada level pemerintah maupun swasta. Jika transformasi dilakukan pada semakin banyak kalangan di berbagai tingkatan, niscaya perekonomian kita akan berjalan lebih baik meskipun di bawah tekanan yang lebih berat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar