Kamis, 22 Desember 2016

Menguji Konsistensi Birokrasi

Menguji Konsistensi Birokrasi
Mukhamad Kurniawan  ;   Wartawan KOMPAS
                                                    KOMPAS, 22 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Hasil survei sejumlah lembaga menunjukkan bahwa publik puas atas kinerja Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat. Angka kepuasannya rata-rata lebih dari 60 persen. Program Kartu Jakarta Pintar, Kartu Jakarta Sehat, perizinan, perumahan, pengelolaan kebersihan, dan pembangunan transportasi umum adalah sebagian yang dinilai telah berubah lebih baik. Aparatur sipil negara dianggap lebih disiplin, bersikap melayani, dan relatif bersih dari praktik korupsi. Namun, apakah perbaikan bakal konsisten, termasuk ketika ganti pemimpin?

Hasil survei Charta Politika Indonesia sepanjang 17-24 November 2016, melalui wawancara tatap muka dengan 733 responden, menunjukkan, masyarakat menyatakan puas atas kinerja Basuki-Djarot dengan tingkat kepuasan 63,3 persen. Kepuasan didominasi program Kartu Jakarta Pintar (KJP), Kartu Jakarta Sehat (KJS), serta berbagai reformasi birokrasi, terutama kemudahan dalam pengurusan di kantor-kantor pemerintahan.

Pada survei lain, oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 24-29 Juni 2016 menunjukkan, tingkat kepuasan warga atas kinerja Basuki mencapai 69,7 persen. Angka itu naik dibandingkan dengan survei oleh lembaga yang sama pada Agustus 2015, yakni 63 persen.

Sementara pada survei Litbang Kompas pada 1-6 Juni 2016, sebanyak 70,4 persen dari 600 responden menyatakan puas hingga sangat puas atas kinerja Basuki-Djarot. Sementara survei Cyrus Network pada akhir April 2016, sebanyak 76,2 persen dari 1.000 responden menilai Jakarta berubah lebih baik pada era kepemimpinan Basuki.

Sejumlah program yang dinilai positif, seperti KJP dan KJS, telah dimulai sejak masa pemerintahan Gubernur Joko Widodo, akhir 2012. Sementara kebijakan terkait aparatur sipil negara (ASN), sebagian besar terjadi pada era Basuki, sejak akhir tahun 2014. Lompatan penuh kejutan terjadi. Bongkar pasang jabatan seolah tak pernah henti. Selama hampir setahun sejak 2 Januari 2015, mutasi, rotasi, demosi, dan promosi adalah "menu" yang biasa bagi pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemprov DKI. Bongkar pasang jabatan secara kolosal terjadi sejak awal 2015. Sejak itu, seleksi terbuka secara maraton oleh tim yang berganti-ganti seperti tak pernah henti.

Basuki berulang mengungkap motifnya mengganti pejabat, yakni mencari formasi paling pas untuk menggerakkan roda birokrasi lebih cepat. Dia ingin mengoptimalkan sisa masa jabatannya. Setiap kali melantik atau mengukuhkan jabatan, Basuki menegaskan sikapnya, tak ada toleransi bagi PNS yang terbukti tidak berani menegakkan aturan, tidak jujur, dan korup.

Pada era Basuki pula, copot jabatan atau pecat sebagai PNS adalah keniscayaan bagi pelanggar aturan. Selama 10 bulan hingga Oktober 2015, misalnya, 120 PNS dipecat dan diberhentikan sebagai PNS. Sanksi itu dijatuhkan antara lain karena korupsi, menerima suap, dan membolos tanpa keterangan.

Kepada petugas di bagian depan, khususnya di Badan dan Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP/PTSP), Basuki berpesan agar selalu berlaku sebagai pelayan. Layanan perbankan kepada nasabah jadi standar minimal. Instansi ini jadi tulang punggung pelayanan publik di Jakarta karena melayani 518 jenis izin.

Perizinan menjadi perhatian serius karena sebelumnya merupakan sarang korupsi. Selain korup, sektor perizinan menjadi hal yang banyak dikeluhkan warga karena serba tidak pasti tarif dan waktu penyelesaiannya. Sebelum disatukan di BPTSP, ratusan jenis izin itu tersebar di banyak instansi dengan standar pelayanan beragam.

Perombakan layanan di barisan depan itu diharapkan mengubah citra birokrasi. Basuki-Djarot tak ingin PNS dianggap lambat, penuh pungutan liar, bermuka masam, atau tak inovatif. Oleh karena itu, sistem perekrutan, penempatan, pengisian jabatan, penjenjangan, sampai dengan penggajian diperbaiki dengan standar dan memanfaatkan teknologi informasi.

Struktur

Pada awalnya, perombakan struktur dan sistem birokrasi di Ibu Kota Jakarta mendapat perlawanan. Namun, Basuki kukuh menerapkan aturan. Sistem baru dianggap dapat mengubah perilaku dan kebiasaan PNS. Pemberian tunjangan berbasis kinerja dengan indeks performa (KPI), misalnya, memacu PNS bekerja lebih baik untuk mencapai target.

Menurut Djarot, penerapan KPI adil untuk mengukur kinerja. Sebab, PNS yang malas gajinya sedikit, sementara aparatur yang kreatif dan inovatif gajinya besar. "Dulu antara yang malas dan rajin gajinya sama saja atau malah lebih besar yang malas karena sistem tak jelas," ujarnya.

Sejalan dengan pengetatan pengawasan keuangan, Pemprov DKI melipatgandakan standar gaji. Sesuai Pergub No 207/2014 tentang Tunjangan Kinerja Daerah (TKD), gaji seorang kepala dinas, misalnya, mencapai Rp 60,3 juta atau naik hampir 232 persen dibandingkan sebelumnya yang Rp 26 juta. Sementara gaji kepala suku dinas di tingkat kota naik dari Rp 11,5 juta menjadi Rp 40,3 juta, kepala unit pelaksana teknis dari Rp 10,5 juta menjadi Rp 39,8 juta, dan kepala seksi pada suku dinas dari Rp 6,2 juta menjadi Rp 26,4 juta atau naik 426 persen.

Akan tetapi, gaji sebesar itu hanya bisa dicapai jika PNS yang bersangkutan bisa memenuhi target kinerja, baik yang bersifat statis seperti kehadiran maupun dinamis seperti akumulasi poin pekerjaan yang rampung. Hampir separuh dari besaran gaji itu merupakan TKD dinamis. Jika semua target tercapai, PNS dengan golongan terendah di DKI bisa membawa pulang gaji setidaknya Rp 12 juta per bulan.

Basuki mengibaratkan kebijakan melipatgandakan gaji dengan istilah pemerataan hujan. Sebab, sebelumnya "hujan" dianggap tidak merata karena praktik koruptif, terutama oleh PNS yang menduduki jabatan atau posisi strategis. Korupsi dinilai terjadi di banyak lini sehingga memboroskan keuangan daerah. Anggaran besar, tetapi hanya sedikit yang bisa dinikmati warga.

Menurut pengamat perkotaan Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, perubahan regulasi memengaruhi cara berpikir dan bertindak birokrat DKI Jakarta. Perombakan struktur, perbaikan remunerasi, serta pengetatan pengawasan melandasi perubahan kultur pegawai. "Orang melihat, kenapa (PNS) sekarang berubah, jadi lebih disiplin, rajin, efisien? Sebab, ada aturan dan nilai yang harus diikuti," ujarnya.

Kekuatan struktur mengubah birokrasi Jakarta. Menurut Yayat, ketika nilai-nilai budaya tak efektif, uang adalah satu-satunya cara memengaruhi perilaku orang. Pemberian tunjangan kinerja melalui sistem yang ketat mengubah cara berpikir dan bertindak aparatur.

Dalam prosesnya, ada masyarakat sebagai pengawas atas kerja birokrasi.

Ujian

Publik Jakarta, sebagaimana tergambar dari serangkaian survei, bisa saja puas atas kinerja Basuki-Djarot. Namun, apakah pembenahan birokrasi bakal langgeng dampaknya? Setidaknya, apakah aparatur tetap disiplin, melayani, dan bersih ketika pucuk pimpinan berganti? Jawabnya serba tak pasti karena konsistensinya belum teruji.

Fenomena Qlue bisa jadi sinyal untuk mengukur kinerja birokrasi. Empat bulan terakhir, sesuai data yang terekam di sistem menunjukkan, tingkat kepuasan pengguna aplikasi pelaporan warga itu terus turun. Pelapor menilai penyelesaian cenderung seadanya.

Berdasarkan data dari PT Qlue Performa Indonesia, pengembang aplikasi Qlue, ada 82.983 laporan selama kurun Agustus-September 2016. Sebanyak 14,3 persen penyelesaian laporan di antaranya mendapat nilai rendah, yakni 1-2 bintang dari skala maksimal 5 bintang. Sementara kurun Oktober-November 2016, ada 77.496 laporan dan 16,06 persen di antaranya mendapat penilaian rendah. Masalah yang mendapat umpan balik yang buruk adalah soal parkir liar.

Setiap kelurahan bahkan pernah mendapat nilai rendah dari pengguna. Dari 23.683 laporan tentang parkir liar selama Agustus-November 2016, hampir 56 persen di antaranya mendapat nilai 1-2 bintang yang berarti tingkat kepuasannya rendah.

Bisa jadi, situasi itu tidak terkait langsung dengan Basuki-Djarot yang harus cuti sejak 28 Oktober 2016 untuk menjalani masa kampanye Pilkada 2017. Pelaksana Tugas Gubernur DKI Sumarsono juga berpendapat, laporan Qlue tidak menunjukkan penurunan mutu layanan publik. Sebab, tak semua keluhan dialamatkan ke aparatur Pemprov DKI. "Lokasi yang dilaporkan kadang merupakan wilayah kerja (pemerintah) pusat," ujarnya.

Akan tetapi, data Qlue tak bisa diabaikan atau menganggap roda birokrasi masih baik-baik saja. Sebab dengan jumlah pengunduh lebih dari 100.000 dan pengguna aktif 8.000-9.000 orang per hari, laporan warga melalui Qlue, antara lain soal parkir liar, pedagang kaki lima, kemacetan, genangan, dan jalan rusak, adalah sebagian cermin untuk menguji hasil kerja birokrasi.

Reformasi birokrasi di DKI Jakarta menjadi bahan perdebatan yang panas pada dialog kandidat pemimpin Jakarta yang diselenggarakan Kompas TV di Jakarta, Kamis (15/12).

Pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan-Sandiaga Uno mengkritik petahana yang dinilai lebih mementingkan fisik ketimbang manusia. Anies juga mengkritik soal gaya Basuki yang dinilainya one man show dalam mengelola birokrasi.

Menurut Anies, budaya organisasi harus positif. "Menghukum tertutup, memuji terbuka, jangan dibalik. Jangan bilang PNS semuanya koruptor. Itu namanya pemimpin tidak hadir. Pemimpin itu mendorong agar berubah dari dalam diri dan organisasi," kritik Anies kepada Basuki.

Basuki membantah dirinya tampil sendiri. Menurut dia, sejumlah perbaikan di DKI merupakan hasil kerja tim, termasuk partisipasi warga. Dia meyakinkan bahwa memperbaiki birokrasi Jakarta tak bisa ditempuh secara tertutup. Apalagi terkait korupsi.

Hari-hari ini, kinerja birokrasi ibu kota Jakarta tengah diuji warga. Akankah berhasil?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar