Kamis, 29 Desember 2016

Menutup Google

Menutup Google
Effnu Subiyanto  ;   Advisor CikalAFA-umbrella;
Direktur Koridor, memperoleh Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
                                                  JAWA POS, 27 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

RAKSASA mesin pencari Google rupanya tidak menerapkan asas compliance dalam operasional bisnisnya. Mencari nafkah pada teritori negara lain, giliran kewajiban membayar pajak, berkilah dan main petak umpet. Penghindaran pajak Google bahkan sudah berlangsung selama lima tahun. Tentu saja, itu akan menimbulkan preseden buruk bagi institusi bisnis lain yang beroperasi di Indonesia yang selalu patuh membayar pajak.

Saat ini Google terus berkelit membayar pajak sehingga pemerintah menjatuhkan tahap preliminary investigation dengan sanksi bunga 150 persen plus utang pokok pajak selama lima tahun terakhir yang mencapai Rp 5 triliun. Tenggat waktu preliminary investigation adalah Januari 2017. Jika terus membandel melebihi due-date Januari tahun depan, pada Februari 2017 status penghindaran pajak Google akan ditingkatkan menjadi full investigation dengan sanksi bunga 400 persen. Jika itu yang terjadi, Google akan berutang pajak dengan sanksi bunga progresif minimal Rp 20 triliun mulai Februari 2017.

Berpendapatan Besar

Setelah berdiri pada Januari 1996, pendapatan Google sangat sulit diukur sampai sekarang. Berdasar riset European Commission (2014), Google minimal sudah memiliki pendapatan bruto EUR 54 miliar (Rp 761,4 triliun) atau terbesar ketiga setelah Microsoft dan IBM. Peranan Google semakin besar karena bisnis turunannya semakin besar. Misalnya, Google Translate, Google Map, Google Scholar, hingga Google Journals. Pendapatan Google semakin menggunung, dan kewajiban pajak seharusnya mengikuti. Sayang, di beberapa negara, Google lebih sering lupa membayar pajak.

Untuk di Indonesia, karena alpa membayar pajak sejak lima tahun lalu, Google Indonesia sebetulnya sudah ditagih USD 266,67 juta pada 2015. Asumsinya, karena data keuangan Google tidak diberikan, pendapatan di Indonesia ditaksir minimal sebesar 0,1 persen total pendapatan Google di dunia, kemudian dikalikan lima tahun. Setiap tahun Google Indonesia seharusnya membayar pajak USD 53,33 juta. Karena pada 2015 Google tidak kooperatif menyelesaikan pajaknya, mereka dikenai sanksi pajak 150 persen sehingga tagihan pajak sekarang menjadi USD 400 juta.

Keengganan Google membayar pajak tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Italia, Google akhirnya membayar pajak EUR 2,2 juta pada 2014 (Rp 31,02 miliar) setelah berkonflik panjang. Di Inggris, Google juga bersedia membayar pajak 130 juta poundsterling (Rp 2,145 triliun) untuk tahun 2015 setelah ditekan pemerintah Inggris.

Keengganan Google membayar pajak di Indonesia secara garis besar disebabkan perhitungan pajak pemerintah Indonesia terlalu besar. Pengguna internet di Indonesia pada 2014 adalah 47 juta orang, memang 1,2 kali lipat dibanding Italia yang pada waktu itu 37 juta orang (www.internetlivestats.com). Dalam hal ini, wajar jika Google membayar pajak di Indonesia lebih besar dibanding Italia. Namun, menggunakan perbandingan dengan Inggris yang menarik pajak Rp 2,145 triliun sehingga mengenakan tagihan Rp 720 miliar kepada Google juga tidak patut. Persoalannya adalah apakah tagihan pajak USD 53,33 juta setahun kepada Google sangat besar atau memang sangat relevan?

Pendapatan Google terutama datang dari pengiklan yang melihat potensi Indonesia yang demikian besar. Statista –sebuah portal statistik online asal Jerman– berdasar Rohman (2016) menyebutkan, nilai iklan digital Indonesia diperkirakan mencapai USD 108 miliar (Rp 243 triliun), dan untuk pangsa mesin pencari seperti Google akan mendekati USD 479 juta (Rp 6,46 triliun) per tahun. Nilai pasar mesin pencari (search engine) jika dipajaki seluruhnya akan Rp 1,81 triliun, dan Google sendiri menanggung Rp 720 miliar atau 39,76 persen.

Porsi Google yang mencapai sepertiga di Indonesia tentu saja masuk akal karena saat ini dari 17 mesin pencari yang beroperasi di Indonesia, Google nyata-nyata sangat dominan. Hampir semua internet user di Indonesia pasti selalu menggunakan Google sebagai default mesin pencari dan porsinya sangat yakin di atas sepertiga di negeri ini. Apa pun pesan iklan yang tampil dalam Google atau terlintas tentu saja menjadi keuntungan Google dan amat sangat yakin nilai ekonomi mesin pencari sebesar Rp 1,81 triliun mayoritas dikuasai Google.

Argumentasi lainnya, dari tujuh raksasa bisnis penghindar pajak di dunia ini, empat adalah bisnis informasi teknologi, yaitu Google, Apple, Amazon, dan Microsoft (www.fortune.com). Google lagi-lagi menjadi jawara di seluruh dunia, dikejar di Irlandia, Amerika Serikat, Eropa, Asia, dan kini di Indonesia.

Menutup Google

Menghadapi Google ini, pemerintah memang dalam situasi dilematis yang sangat berat. Google saat ini ibarat sudah menjadi guru utama setiap murid dan mahasiswa yang bisa ditanya 24 jam, menjadi rujukan profesional, penyedia data yang berlimpah, dan bahkan memberikan akses secara gratis jika pengguna ingin memiliki akun e-mail Google.

Bahkan, sebuah korporasi Indonesia harus membayar sangat mahal dengan biaya pemeliharaan yang besar jika ingin memiliki mailing-list sendiri agar tidak gratisan menggantungkan kepada mesin pencari seperti Google. Menyelesaikan masalah pajak dengan menutup Google di Indonesia tentu saja kemustahilan. Jalan terbaik adalah melalui meja perundingan dengan kepala dingin, karena rakyat Indonesia mendapatkan manfaat menggunakan informasi juga karena operasional Google dibiayai dari iklan-iklan yang diperolehnya.

Google pun saat ini dituntut asas compliance-nya dengan tanpa terkecuali. Sebagai badan usaha tetap (BUT) yang beroperasi di Indonesia, pemenuhan asas-asas berbisnis yang sehat sesuai dengan UU adalah bentuk compliance yang nyata. Salah satunya adalah melaporkan transaksi keuangannya, penghasilan bersihnya, dan kepatuhan membayar pajaknya.

Seluruh korporasi yang menjalankan bisnisnya di Indonesia pun memandang bahwa Google tidak memiliki hak-hak privilege dalam hal memanipulasi laporan keuangan agar menghindari pembayaran pajak. Alangkah sangat tidak adilnya pemerintah Indonesia jika Google dibiarkan tidak disanksi karena alpa membayar pajak, sedangkan yang lain dikejar sampai lubang semut agar membayar pajak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar