Minggu, 25 Desember 2016

Prostitusi di Dunia Maya

Prostitusi di Dunia Maya
Bagong Suyanto ;  Dosen Prodi Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga;
Menulis disertasi dan buku tentang Anak Perempuan di Industri Seksual Komersial
                                                  JAWA POS, 23 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PENUTUPAN lokalisasi di berbagai daerah ternyata tidak otomatis menghentikan praktik prostitusi di masyarakat. Di Surabaya, misalnya. Setelah kompleks lokalisasi Dolly yang terkenal itu ditutup, ternyata sebagai gantinya kini marak praktik prostitusi lewat aplikasi chatting seperti Line dan WhatsApp yang skalanya lebih eksklusif (Jawa Pos, 21 Desember 2016).

Jika dibandingkan dengan praktik prostitusi di lokalisasi atau pemasaran jasa layanan seksual lewat media sosial yang sifatnya lebih terbuka, prostitusi via aplikasi chatting bersifat lebih terbatas, semi tertutup, dengan pelanggan-pelanggan tertentu yang tergabung khusus dalam grup yang sudah terseleksi.

Jasa layanan yang ditawarkan di grup aplikasi online yang terbatas tersebut bukan melulu layanan hubungan seksual, tetapi bisa pula layanan chat sex, phone sex, atau video call sex sesuai dengan permintaan pelanggan. Seperti praktik prostitusi konvensional, di dunia maya, primadona prostitusi via chatting tersebut umumnya adalah anak-anak perempuan, baik itu grey chicken (pelajar) maupun ’’ayam kampus’’ (mahasiswa) yang dijajakan sebagai layanan unggulan dengan tarif tinggi dan menguntungkan germo atau mucikari yang mengelolanya.

Sementara itu, perbedaan antara prostitusi di lokalisasi dan prostitusi di dunia maya, pada prostitusi konvensional, para pelacur dijajakan dari balik kaca etalase dan dijajar layaknya barang dagangan. Namun, pada era masyarakat postmodern seperti sekarang ini, para pelacur biasanya dijajakan dalam format digital, melalui foto-foto yang diunggah di dunia maya, dengan pose-pose yang menarik tak beda dengan artis atau selebriti yang terkenal.

Mengapa Makin Marak?

 Setelah kompleks lokalisasi ditutup paksa, banyak pihak yang sebetulnya berharap hal itu sekaligus otomatis akan menutup praktik prostitusi yang berkembang di masyarakat. Tetapi, kalau melihat pengalaman di berbagai kota besar, penutupan paksa sejumlah lokalisasi ternyata tidak menjamin praktik prostitusi otomatis ikut mati.

Ketika di masyarakat penggunaan gadget makin luas dan komunikasi yang berkembang tidak lagi harus tatap muka langsung, yang terjadi kemudian, strategi pemasaran yang berkembang di dunia prostitusi pun pelan-pelan ikut berubah.

Melalui pemberitaan di media massa, kita bisa melihat para germo atau mucikari yang tertangkap tangan menjadi pengelola prostitusi kini bukan lagi ’’mami-mami’’ atau ’’papi-papi’’ pensiunan yang sudah berumur kepala 5–6. Pada era masyarakat digital seperti sekarang ini, para germo dan mucikari umumnya adalah anak-anak muda atau bahkan remaja yang merupakan bagian dari kelompok net generation –yang fasih memanfaatkan gadget dan internet untuk kelancaran bisnis haram mereka.

Secara garis besar, ada tiga hal yang menjadi penyebab makin maraknya prostitusi online belakangan ini. Pertama, konsumen atau pelanggan yang memanfaatkan jasa prostitusi online kini telah berubah. Laki-laki iseng yang mem-booking anak perempuan yang ditawarkan di dunia maya bukanlah generasi lama yang gaptek, melainkan generasi digital yang melek teknologi informasi, internet, dan media sosial.

Karena itu, untuk menggaet pasar yang berubah tersebut, strategi pemasaran pun harus ikut-ikutan berubah. Menawarkan jasa layanan seksual melalui media sosial atau aplikasi chatting merupakan konsekuensi perkembangan zaman yang tidak bisa ditolak.

Kedua, karena tawaran jasa layanan seksual lewat aplikasi chatting bersifat lebih personal dan eksklusif, para laki-laki yang memanfaatkan fasilitas itu merasa aman dari risiko menjadi sorotan publik. Hal itu berbeda dengan aktivitas ’’jajan’’ ke lokalisasi yang berisiko membuat pelanggan bertemu dengan berbagai orang tanpa mereka bisa mengontrol dan mengenali siapa saja yang berada di kompleks lokalisasi. Dengan mem-booking pelacur via aplikasi chatting, setidaknya konsumen merasa identitas dan kelakuannya tidak akan diketahui khalayak luas.

Ketiga, karena memanfaatkan gadget dan internet sebagai media untuk memasarkan jasa layanan seksual yang dikelolanya, para germo, mucikari, dan pelacur itu lebih leluasa memasarkan jasa mereka –tanpa bisa dibatasi ruang dan waktu.

Dari studi yang dilakukan penulis (2016) tentang praktik prostitusi di kalangan pelajar di Kota Surabaya, pada sejumlah grey chicken yang menjajakan diri lewat media sosial atau aplikasi chatting, ternyata mereka justru sangat mungkin memetik keuntungan yang lebih besar dan meraih pelanggan yang lebih banyak dari mana pun. Karakteristik media sosial dan aplikasi chatting yang efisien serta tidak terbatas itulah yang membuat praktik prostitusi online belakangan ini justru semakin marak. Aparat kepolisian pun berkali-kali berhasil membongkar praktik prostitusi online. Namun, jangankan menimbulkan efek jera, yang terjadi, praktik prostitusi online yang dikembangkan jadi semakin canggih, semakin hati-hati, dan eksklusif.

Upaya Memberantas

Upaya memberantas praktik prostitusi online yang belakangan ini makin marak, harus diakui, bukanlah hal mudah. Sebagai bagian dari jaringan industri seksual komersial yang eksis sejak puluhan dekade silam, pelacuran online sesungguhnya bukan sekadar kasus pelanggaran hukum.

Meruyaknya prostitusi online merupakan realitas sosial yang memiliki akar historis dan bertali-temali dengan banyak hal. Mulai soal gender dan bias ideologi patriarkhis, ketertundukan, dominasi dan eksploitasi, serta berkaitan pula dengan persoalan life style.

Lebih dari sekadar imbas atau efek samping perkembangan modernitas, munculnya praktik prostitusi online merupakan implikasi cara kerja kapitalisme yang eksploitatif dan ideologi patriarkhis yang cenderung menempatkan (anak) perempuan sebagai bagian dari komoditas yang bisa diperdagangkan dan menguntungkan.

Bagi teoritisi feminisme materialis seperti Delphy (1984), sumber ketidakberdayaan yang dialami (anak) perempuan yang terjerumus dalam praktik prostitusi adalah ketidakberdayaan korban dan supremasi kekuatan komersial yang menjadikan apa pun sebagai komoditas yang menguntungkan dirinya, tak terkecuali anak-anak perempuan yang malang itu.

Menawarkan para pelacur melalui media sosial dan aplikasi chatting memang merupakan bagian dari perkembangan strategi pemasaran para germo dan mucikari yang disesuaikan dengan tuntutan perkembangan zaman. Untuk mencegah penyalahgunaan kemajuan teknologi informasi dan internet, dibutuhkan kemampuan teknis aparat penegak hukum untuk terus melacak, mendeteksi, dan kemudian menangkap para pelaku penyalahgunaan teknologi informasi.

Yang tak kalah penting, memberikan pendidikan kepada masyarakat bagaimana mereka mampu mencegah agar anak-anak mereka tidak menjadi korban praktik prostitusi yang makin lama makin canggih. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar