Jumat, 30 Desember 2016

Tentang Para Cendekiawan Medsos yang Pintar Tapi Sombong

Tentang Para Cendekiawan Medsos
yang Pintar Tapi Sombong
Iqbal Aji Daryono  ;   Praktisi Media Sosial; Kini ia tinggal sementara di Perth, Australia, untuk menemani istri yang menempuh studi doktoralnya
                                                DETIKNEWS, 27 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sejak media sosial menguasai segenap sendi kehidupan kita, rasanya kita jarang tenang dalam menjalani hidup sebagai warga masyarakat dan warga negara. Ini jauh berbeda dengan, katakanlah, 10 tahun silam. Masihkah untuk soal ini diperlukan penjelasan?

Dulu, bahkan sampai ketika bangsa manusia sudah menemukan makhluk bernama Friendster, tak semua mulut bisa terdengar suaranya, dan tak semua jempol bisa menggoyang dunia. Oke lah, sudah ada blog. Namun kesaktiannya masih saja jauh di bawah media sosial di masa sekarang.

Maka saya membayangkan, betapa pusingnya pemegang kuasa menghadapi gempuran nyaris setiap saat di waktu ini. Ada langkah sedikit, isu ini-itu bertebaran. Muncul di lapangan peristiwa seiprit, tudingan sana-sini muncul berentetan. Jadilah bukan cuma orang-orang di atas saja yang tak pernah nyenyak tidurnya. Kaum jelata pun tak beda.

Namun, tak mengapa. Biarlah itu jadi takdir karakter wajah bumi di Zaman Kalabendu ini. Kita sebagai masyarakat awam yang berjuang agar tetap waras, mestinya cuma bisa berusaha agar "ngeli ning ora keli", kalau orang Jawa mengibaratkan. Ikut arus, tapi tidak terhanyut. Karena itulah dalam segenap keterbatasan, yang bisa kita lakukan cuma berhati-hati dan tekun menyimak hingga tuntas setiap perkembangan. Sebab dari situlah kita bisa menemukan banyak kesempatan untuk belajar.

Mari ambil contoh. Baru saja ada kericuhan di medsos terkait uang baru yang dikeluarkan Bank Indonesia. Ada sebagian pihak (ah, sebenarnya cuma itu-itu saja sih) yang tiba-tiba menyatakan bahwa eksistensi umat Islam dipinggirkan melalui pemilihan tokoh pahlawan yang dipajang di lembar-lembar uang tersebut. Sontak, "tafsir kreatif" semacam itu segera disambut oleh publik galau, misalnya dengan ungkapan-ungkapan tak pantas dan rasis yang ditujukan kepada sosok yang terpampang di uang Rp 10.000.

Untunglah, segera muncul beberapa orang yang dengan gamblang, pelan-pelan, dan sederhana, menjelaskan tentang siapa itu Frans Kaisiepo, pahlawan nasional Indonesia dari Tanah Papua. Bahwa ia menjadi wakil Papua dalam Konferensi Malino tahun 1946 saat pembentukan Republik Indonesia Serikat, bahwa ia tokoh yang mengusulkan nama Irian waktu itu, bahwa ia diangkat sebagai pahlawan nasional pada era Orde Baru.

Jujur saja, saya sendiri pun baru tahu semua itu. Kebangetan? Mungkin. Tapi ada berapa puluh juta orang yang sama kebangetannya seperti saya? Maka saya menghaturkan segenap penghormatan kepada siapa pun yang dengan rendah hati mau menjelaskan dengan bahasa sederhana tentang siapa itu Frans Kaisepo. Sungguh, hal sekecil itu sangat bermanfaat buat kami, para sudra pengetahuan ini.

Satu saja lah, contoh kasusnya. Anda semua tentu tahu, bahwa ada puluhan kericuhan sejenis, dalam obrolan sehari-hari kita. Ada yang berujung happy ending seperti kisah uang bergambar Frans Kaisepo, namun banyak juga yang tak berujung apa-apa selain kerumitan, kebingungan, dan publik awam yang semakin tak paham.

Lalu dalam situasi ruwet tak berujung begitu, siapa yang pantas digugat? Izinkan saya menuding muka Anda, Anda, dan Anda: para orang pintar, para elite pengetahuan yang aktif beraktualisasi di media sosial, namun lebih asyik berbincang riuh-rendah dengan kalangan kalian sendiri.

Ambil misal, ketika sedang ribut-ribut penggusuran di Jakarta. Dalam perdebatan terkait hal itu, para fans Ahok selalu mengandalkan mantera legalitas. "Orang-orang itu memang tidak punya legalitas atas tanah mereka. Lha kenapa mereka dibiarkan? Sah-sah saja kan mereka digusur? Di mana salah Pak Ahok?" Begitu kalimat standar mereka.

Saya kira, jalan pikiran demikian itulah yang paling umum, paling lazim, dan paling gampang masuk ke nalar publik. Orang tahunya cuma peraturan, hukum, regulasi. Negeri ini sudah terlalu busuk dalam kegagalannya menjalankan hukum dan peraturan. Maka, ketika ada upaya agar peraturan ditegakkan dan korupsi dilawan, ya itulah yang pertama-tama akan didukung. Ini logika simpel saja yang paling mudah dipahami kalangan awam.

Memang, ada logika lain yang baru akan tampak jika kita menarik segala persoalannya jauh ke belakang. Ini tentang problem struktural. Orang-orang yang menduduki tanah ilegal itu adalah korban dari ketidakadilan pembangunan. Mereka korban dari puluhan tahun obsesi atas pertumbuhan yang mengabaikan pemerataan. Persis di titik itulah soal legal dan ilegal jadi tidak relevan. Pertanyaannya, ada berapa gelintir kalangan awam yang paham logika demikian?

Malangnya, alih-alih memberikan penjelasan yang gamblang dan sederhana tentang logika struktural tersebut, para intelektual publik di medsos lebih doyan menempelkan label kepada kalangan yang mereka hantam: "Percuma sekolah tinggi-tinggi kalau tahunya cuma legalitas. Kalian ini kelas menengah ngehek yang hanya mengejar kenyamanan bagi diri kalian sendiri!" Aduh, Mas...

Adegan selanjutnya seperti yang biasa terjadi. Mereka riuh berbincang dengan kalangan mereka sendiri, sesama intelektual hebat yang kenyang dengan buku-buku berat, sambil abai bahwa orang-orang yang telah mereka bubuhi label itu sesungguhnya membutuhkan penjelasan yang jauh lebih sederhana, dengan bahasa manusia biasa, tentang di mana salahnya mengandalkan jargon legalitas.

Saya sering menjumpai jenis-jenis orang pintar semacam itu. Kalangan tersebut sangat terampil mengucap, "Nggak usah dilayani debat sama orang seperti dia. Cuma bikin kita down grade saja."; "Tulisan yang itu ramai dikutip orang, padahal dari kacamata ilmu, itu semua tak ada isinya."; dan sebagainya. Atau yang paling sering bikin tertangkap mata ya ucapan legendaris ini: "Sudah Bung, sana baca buku duluuu!"

Haha. Mereka lupa, bahwa kesempatan mengakses pengetahuan pun tak dimiliki setiap orang. Para kelas menengah yang mereka tuding-tuding itu pun belum tentu mereka pahami "situasi struktural"-nya. Boleh jadi kelas menengah itu adalah kelompok demografis pekerja kantoran yang pergi subuh dan pulang menjelang tengah malam, yang sering terpaksa lembur karena teror bos mereka, yang hanya memiliki kehidupan riil di akhir pekan dan itu pun habis untuk keluarga. Kapan mereka punya kesempatan membaca kitab yang berat-berat, apalagi pekerjaan mereka pun tak terkait dengan itu semua?

Barangkali memang benar, para kelas menengah yang dicap sebagai pengejar kenyamanan itu memiliki bawah sadar neolib. Mereka menganggap bahwa kaum miskin tergusur di mana-mana semata karena kalah berkompetisi dalam realitas dunia yang semakin ketat, padahal kenyataannya kompetisi tidak dimulai dari garis start yang sama. Oke, di titik itu saya sepakat.

Namun para intelektual publik itu pun lupa, bahwa mereka tak kalah neolibnya. Apa dikiranya keberuntungan berupa kesempatan mengakses pengetahuan, takdir yang mempertemukan mereka dengan buku-buku hebat, itu 100% murni karena kerja keras mereka sendiri? Hahaha. Sombong sekali. Sombong sekali.

Saya kira, sudah saatnya kelas intelektual mulai bertobat, berendah hati, untuk memberikan pengajaran publik tentang setiap hal yang terjadi di tengah segala keributan ini. Dengan cara sederhana, dengan bahasa-bahasa orang awam, dengan melupakan keagungan posisi sebagai elite pengetahuan.

Percayalah, itu akan jauh lebih berguna dalam ikhtiar membentuk masyarakat yang rasional, dan jauh lebih mulia ketimbang sekadar "mengehek-ngehekkan". Kami orang-orang bodoh ini butuh dicerahkan, Tuan. Bukan ditertawakan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar