Sabtu, 28 Januari 2017

Umat yang (Tidak) Konfrontatif

Umat yang (Tidak) Konfrontatif
Abdul Mu'ti ;  Sekretaris Umum PP Muhammadiyah;
Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
                                                KORAN SINDO, 27 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam satu semester terakhir ruang publik dipenuhi berbagai isu dan aksi konfrontatif yang melibatkan umat Islam. Isu reinkarnasi komunisme, ancaman terorisme, kesenjangan sosial, dan kebinekaan menghadapkan umat head to head dengan berbagai elemen bangsa. Energi dan sumber daya umat tersedot dalam aksi-aksi reaktif, sporadis, simbolis, dan formalistis dalam menyikapi berbagai isu. Konfrontasi seolah menjadi heroisme baru di bawah panglima aktor konfrontatif. Kegaduhan demi kegaduhan terus terjadi.

Sebagian pihak menilai kegaduhan adalah hal yang wajar dan masih dalam batas kewajaran. Kegaduhan (noisy) adalah bagian dari dinamika berekspresi dan salah satu ciri demokrasi. Di pihak lain ada yang menilai kegaduhan itu sudah menjadi polusi keagamaan yang mengganggu, menjemukan, dan memekakkan telinga. Polusi keagamaan itu sudah mencemarkan umat dan mencemari Islam sebagai agama yang damai, santun, dan berkeadaban.

Miskin Strategi

Kegaduhan dan konfrontasi disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, ekspresi akumulasi dan eskalasi kekecewaan terhadap pemerintah yang dinilai tidak aspiratif terhadap umat Islam. Ada prasangka pemerintah lebih berpihak kepada kelompok minoritas yang semakin merajalela dan seakan memiliki kekebalan hukum. Suasana psikologis sebagai pecundang membuat umat mudah meradang. Kedua, aparatur keamanan yang represif.

Adrenalin umat memuncak tatkala aparatur keamanan mengedepankan pendekatan penindakan. Kekerasan dan bentrokan tidak terhindarkan. Di lapangan berlaku hukum aksi sama dengan reaksi: umat akan konfrontatif jika aparatur keamanan represif. Ibarat pepatah Betawi: ente jual gue beli. Paradigma dan pendekatan yang militeristik membuat umat terus terusik.

Ketiga, partai politik, khususnya partai berbasis massa muslim, kurang aspiratif. Umat harus berjuang sendiri dengan turun ke jalan. Di tengah kecenderungan populisme umat hanya dijadikan vehicle untuk mendulang suara dan simpati partai politik. Keempat, umat diperalat oleh elite yang tarik-menarik jabatan politik. Umat laksana bidak yang dikorbankan di percaturan politik kekuasaan. Para aktor tak ubahnya wayang yang disetir para dalang. Jika hal ini benar, umat hanya akan (kembali) menelan pil pahit: keluar mulut singa, masuk mulut buaya.

Umat diadu domba, dipecah belah dengan sesama muslim dan umat beragama lain. Terakhir, umat tidak memiliki kekayaan strategi dakwah dan politik. Umat bergerak dengan emosi tinggi, tetapi miskin strategi. Akibat itu, umat menjadi paranoid. Mereka yang menempuh jalan perjuangan berbeda dan tidak mengikuti arus massa dianggap berseberangan, berkhianat, penjilat, dan sebutan pejoratif lain.

Strategis dan Substantif

Umat perlu berjuang dengan lebih strategis dan substantif. Berbagai isu datang dan pergi, silih berganti. Tidak semua isu harus ditanggapi. Ada isu yang asasi ada pula yang alternasi. Diperlukan kecerdasan dan kearifan melihat setiap persoalan dengan perspektif luas dan sikap yang luwes. Umat bergerak di jalan lempang dan lapang, bukan ditarik ke lorong gang. Konfrontasi bukan tidak berarti. Aksi bisa membuat “lawan” tidak bernyali. Ideologi dan panji-panji harus dibela, jika perlu, sampai mati.

Tetapi, umat harus semakin piawai membuat kalkulasi, menimbang maslahat dan mudarat. Islam mengajarkan agar umat berbuat yang manfaat dan meninggalkan yang mafsadat. Di dalam Alquran disebutkan alasan khamr diharamkan karena dosanya lebih besar dari faedahnya. Tampaknya, dakwah megaphone dengan retorika lantang perlu ditinjau ulang. Selain menimbulkan kegaduhan, bisa juga pertanda “air beriak tanda tak dalam”.

Masyarakat merindukan dakwah yang teduh, tidak gaduh. Dalam benak mereka mengemuka pertanyaan bagaimana para ustaz yang selama ini identik dengan dakwah sufistik, bahkan altruistik, berubah garang. Diperlukan komunikasi yang lebih intensif dan saling memahami di antara pemimpin umat. Gerakan longitudinal di bidang pendidikan, ekonomi, politik, dan kebudayaan harus tetap diprioritaskan.

Stamina umat harus tetap prima untuk lari maraton mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan dengan koordinasi dan kerja sama yang terjalin kuat. Umat tidak boleh setengah hati berjuang di kursi parlemen dan meja birokrasi. Substansialisasi nilai-nilai dan ajaran Islam dalam konstitusi sangat penting untuk memastikan Indonesia tidak menyimpang dari tuntutan Ilahi.

Umat mendambakan tampilnya birokrat yang merakyat, bersih dari korupsi, dan berbudi mulia. Umat Islam adalah komponen terbesar bangsa Indonesia. Wajah umat, wajah bangsa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar