Senin, 27 Februari 2017

Politik Resurgensi Pancasila

Politik Resurgensi Pancasila
Halili  ;    Dosen Universitas Negeri Yogyakarta;  Peneliti di Setara Institute
                                                     KOMPAS, 24 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam Political Ideologies: A Comparative Approach (1994), Mostafa Rejai merefleksikan bahwa suatu ideologi politik tidak pernah benar-benar mati. Setelah mengalami kemunduran (decline), ideologi politik akan mengalami fase resurgensi (resurgence) atau kebangkitan.

Resurgensi Pancasila menjadi isu penting di tengah menguatnya ancaman terhadap sendi ideologis dan kebangsaan kita hari-hari ini. Presiden telah berusaha merespons sosio-politik aktual yang mengkhawatirkan dengan pelembagaan politik resurgensi Pancasila melalui pembentukan Unit Kerja Presiden bidang Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP PIP). Meski demikian, hingga sejauh ini Presiden tidak kunjung memformalkan tugas, fungsi, dan personalianya.

Ideologi yang bekerja

Presiden menegaskan bahwa Pancasila harus menjadi ideologi yang bekerja (working ideology), yang terlembagakan dalam sistem dan kebijakan di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, politik, hingga sosial-budaya. Apa yang diidamkan Presiden sejatinya merupakan penegasan ulang dari cita-cita luhur para pendiri negara-bangsa ini.

Melalui pengesahan Preambule UUD 1945, para pendiri negara-bangsa ini telah menegaskan fungsi konstitusional Pancasila sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligatur dalam kehidupan bangsa dan negara (Yudi Latif, 2011). Bagaimana memfungsikan UKP PIP dalam kerangka optimalisasi keseluruhan fungsi monoplural Pancasila tersebut?

Secara filosofis, Soekarno menegaskan bahwa kita harus melakukan penarikan ke atas dan penarikan ke bawah terhadap Pancasila (Roeslan Abdulgani, 2001). Penarikan ke atas bermakna, Pancasila harus diluhurkan sebagai sistem falsafah dan norma sekaligus dirumuskan sebagai sistem pengetahuan dan teori. Sementara penarikan ke bawah berarti bahwa Pancasila dijabarkan dan dilaksanakan sebagai sistem operasional dalam berbagai bidang.

Di atas semua itu, Pancasila harus dimantapkan sebagai ideologi yang menjadi penyebut tunggal (common denominator) dalam mewujudkan negara-bangsa Indonesia yang terdiri atas kebinekaan suku, agama, dan golongan-golongan yang ada di dalamnya. Pancasila harus menjadi rumah bersama bagi seluruh elemen yang telah bersepakat untuk membentuk negara satu (pactum unionis) bernama Indonesia, baik mereka yang banyak maupun yang sedikit, baik mereka yang mayoritas maupun minoritas.

Dalam pengertian itu, Pancasila harus menjadi suatu sistem cita-cita (ideological system) dan sistem keyakinan (belief system) yang berlandaskan pada spiritualitas teistik sebagai kausa prima dan berorientasi pada keadilan sosial sebagai tujuan ultima. Dengan demikian, Pancasila akan menjadi ideologi yang memandukan perilaku komunal warga dalam arena negara dan negara itu sendiri dalam menyejahterakan warganya.

Hal inilah yang belakangan mengalami kendala berat dan tantangan besar, terutama berupa penguatan gejala radikalisme keagamaan dan kosmopolitanisme ekonomi-politik global.

Lembaga "think tank"

Dalam konteks itu, kehendak politik pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memantapkan Pancasila patut diapresiasi. Meski demikian, terdapat dua aspek yang harus mendapat catatan.

Pertama, soal substansi pemantapan ideologi. Pemantapan Pancasila tidak boleh terjebak pada soal memarakkan proyek-proyek kognitivasi Pancasila-menjejalkan Pancasila ke dalam otak belaka.

Pekerjaan rumah berat kita adalah bagaimana menjadikan Pancasila betul-betul sebagai ideologi. Untuk menjadi ideologi yang mampu menarik loyalitas rakyat, Pancasila perlu diperkuat pada tiga dimensinya, yaitu logos atau aspek penalaran; pathos atau penghayatan; dan ethos atau kesusilaan yang memandu perilaku (Wibisono, 1996). Pemantapan Pancasila tentu tidak hanya untuk membangun dan menguatkan dimensi logos dari Pancasila sebagai ideologi, tetapi harus juga masuk hingga ke dimensi etos.

Kedua, soal fungsionalisasi kelembagaan UKP PIP. Memandang sekilas UKP PIP, ingatan publik tentu langsung terasosiasi dengan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Sebagaimana sudah kita ketahui, tugas utama BP7 adalah jadi "tangan kanan" Presiden dalam urusan menggarap semua aspek yang berkenaan dengan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), mulai dari konsep hingga implementasi. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1979, BP7 memiliki empat fungsi yang intinya menjadikan BP7 memiliki dua kategori fungsi kelembagaan sekaligus; think tank dan institusi eksekutorial.

UKP PIP cukup menjadi lembaga think tank yang fungsi paling jauhnya adalah mengoordinasikan program lintas kementerian sampai di tahap pra-implementasi dengan tidak masuk terlalu dalam ke ranah eksekutorial, Dengan begitu, UKP PIP akan memiliki ruang dan waktu yang banyak untuk merumuskan garis-garis besar implementasi nilai-nilai Pancasila ke dalam berbagai bidang kerja kementerian. Selama ini ruang tersebut lebih banyak diisi oleh para politisi di DPR, DPD dan MPR, yang lebih banyak berorientasi pada proyek dengan basis ideologis yang amat sangat lemah.

Singkatnya, UKP PIP mesti mengemban tugas utama merumuskan landasan paradigmatik bagi kebangkitan Pancasila. Tentu mandat tersebut bukan untuk dimonopoli, melainkan lembaga itu bisa menjadi garda depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar