Rabu, 22 Februari 2017

Telaah Pilkada Serentak 2017

Telaah Pilkada Serentak 2017
Djayadi Hanan  ;    Direktur Eksekutif SMRC;
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina
                                           MEDIA INDONESIA, 20 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

RESMINYA, pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017 berlangsung di 101 daerah. Namun, dari segi bobot politiknya, pilkada serentak itu terbagi dua: pilkada serentak di seratus daerah dan pilkada 'nasional' DKI Jakarta. Pembelahan ini hanya salah satu dari sejumlah karakteristik yang menonjol dari pilkada serentak tersebut. Hal lain yang menonjol ialah banyaknya calon tunggal, sedikitnya calon independen, sedikitnya rata-rata jumlah calon secara umum, dan sejumlah hal lainnya.

Secara umum, pilkada berlangsung dengan tertib, lancar, dan aman.
Itu tidak berarti bahwa pilkada berlangsung tanpa pelanggaran sama sekali. Di Jakarta, sejumlah TPS harus mengadakan pemungutan suara ulang akibat adanya dugaan pelanggaran.

Mengingat tahapan pilkada masih berlangsung, tulisan ini dimaksudkan untuk menelaah sebagian saja dari fenomena tersebut. Ia tidak berpretensi untuk melakukan kajian yang komprehensif.

Fungsi rekrutmen parpol masih lemah

Belum beranjak dari pilkada serentak 2015, di Pilkada 2017 ini fungsi rekrutmen politik oleh partai politik (parpol) masih belum menunjukkan perbaikan. Bila dilihat dari jumlah calon tunggal yang meningkat 200% (dari tiga daerah pada 2015 menjadi sembilan daerah pada 2017), fungsi rekrutmen itu dapat dikatakan mengalami penurunan. Kecuali di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, calon tunggal di delapan daerah lainnya ialah petahana.

Calon tunggal umumnya ditandai dengan munculnya calon yang sangat dominan dari segi popularitas dan elektabilitas, kemudian hampir semua partai politik berkerumun mencalonkannya. Atau, seorang petahana (bisa kepala daerah, bisa juga wakil kepala daerah) mampu membangun dukungan dari sebagian besar partai politik yang ada di DPRD meski belum tentu yang bersangkutan sangat dominan dari segi popularitas dan elektabilitas.

Calon tunggal yang didukung sebagian besar partai politik mengakibatkan tertutupnya jalan bagi calon lain, yang mungkin saja potensial, untuk maju melalui jalur partai. Bisa juga disinyalir bahwa munculnya calon tunggal yang mendapatkan dukungan dari hampir semua partai politik di DPRD, dipergunakan sebagai jalan untuk menjamin kemenangan calon yang bersangkutan meski peluang menangnya tidak tinggi. Bila sinyalemen ini yang berlaku, mekanisme calon tunggal dapat menjadi arena transaksi politik untuk mendapatkan atau menghilangkan dukungan untuk pencalonan.

Fenomena calon tunggal dengan jelas menunjukkan bahwa partai politik menggunakan pertimbangan menang-kalah sebagai faktor dominan dalam proses rekrutmen kepala daerah. Soal orientasi kebijakan, program, apalagi ideologi, tidak menjadi pertimbangan yang penting.
Akibatnya, pilkada hanya berfungsi sebagai proses menentukan kepala daerah. Fungsi lainnya seperti arena kontestasi gagasan dan program untuk kemajuan daerah menjadi terabaikan.

Proses pilkada yang panjang, terutama masa kampanye yang berlangsung kurang lebih selama tiga bulan, tidak terpakai untuk mencermati kelemahan dan atau untuk mempertajam program karena tidak ada pesaingnya. Mekanisme koreksi tidak bisa terjadi selama proses pilkada.

Bila dalam perjalanannya nanti ditemukan kelemahan mendasar dari sang kepala daerah terpilih, baik dalam arti kepemimpinan politik dan manajerialnya, maupun dalam arti program yang hendak dilaksanakan, yang merugi ialah rakyat di daerah tersebut. Bila semua partai pendukungnya merasa enggan untuk mengubah sikap dan melakukan koreksi, kelemahan itu akan ditanggung selama lima tahun.

Arena dan proses pilkada seharusnya juga dimanfaatkan partai politik untuk melakukan regenerasi kepemimpinan daerah. Caranya dengan mengajukan calon pemimpin yang diproyeksikan untuk memimpin daerah tersebut meski mungkin pada pilkada kali ini kalah. Karena partai hanya berorientasi menang-kalah, fungsi pilkada sebagai kaderisasi kepemimpinan daerah pun tidak tampak baik selama pilkada kali ini.

Memang pilkada dengan calon tunggal tidak serta-merta menurunkan tingkat partisipasi pemilih yang sering dijadikan salah satu indikator kualitas pilkada. Menurut data real count KPU, yang sebagian besar datanya sudah masuk, hanya di Kota Jayapura dan Tebing Tinggi yang partisipasinya di kisaran 50% (48,5% dan 56%). Di tujuh daerah lainnya partisipasi diperkirakan di kisaran lebih dari 70%. Di tiga daerah bahkan angka partisipasi bisa mencapai 90% lebih.

Angka partisipasi yang tinggi memang positif dalam arti memberi legitimasi yang tinggi kepada pemerintahan yang terpilih. Namun, dalam konteks calon tunggal, ia bisa negatif bila kepala daerah terpilih menganggapnya sebagai cek kosong untuk menjalankan semua kebijakan yang direncanakan.

Sejalan dengan makin banyaknya calon tunggal, Pilkada 2017 juga ditandai dengan jumlah kompetitor yang sedikit. Di 101 daerah, total jumlah peserta ialah 310 pasangan calon. Artinya, rata-rata ada tiga calon di setiap daerah. Ada 34 (sekitar 34%) daerah di antaranya yang hanya memiliki dua calon.

Sedikitnya jumlah calon di pilkada ini berbanding terbalik dengan jumlah partai di daerah. Kalau di tingkat nasional (DPR) jumlah partai ada 10, di tingkat daerah, tidak jarang jumlahnya lebih. Di banyak daerah, jumlah partai politik di DPRD bisa mencapai 11.

Kalau jumlah calon pemimpin daerah yang muncul hanya dua atau tiga dari tiap daerah, itu berarti banyaknya partai tidaklah mencerminkan beragamnya aspirasi kepemimpinan politik masyarakat. Atau boleh jadi aspirasi kepemimpinan politik masyarakat memang beragam, tapi tidak dapat tertampung oleh partai politik. Banyak pula calon kepala daerah yang diusung partai politik itu bukan orang atau kader partai. Kenyataan semacam ini dengan gamblang menunjukkan fungsi partai dalam rekrutmen politik masih lemah.

Waktu sekitar satu setengah tahun sejak pilkada serentak pertama 2015 terkesan diabaikan partai politik dalam mempersiapkan rekrutmen pemimpin daerah secara lebih baik. Bisa saja partai politik berdalih bahwa lemahnya rekrutmen politik terjadi karena partai mengalami deparpolisasi.
Dibolehkannya calon independen, sering dituduh sebagai bagian dari deparpolisasi.

Namun, untuk Pilkada 2017, alasan itu tampaknya tidak bisa dipakai.
Sebabnya undang-undang pilkada, yang tentu saja ialah salah satu produk politik yang memberi peran dominan kepada partai politik, sangat membatasi kesempatan calon independen. Persyaratan untuk menjadi calon independen sangat berat, mulai tahapan administrasi hingga tahapan verifikasi. Karena itu, lemahnya rekrutmen calon-calon kepala daerah tidak dapat disalahkan kepada entitas di luar partai politik.

Pilkada 'nasional' DKI

Yang juga menonjol dari pilkada serentak 2017 ialah adanya pilkada 'nasional', yakni pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Ia menjadi perhatian dan kepedulian tidak saja daerah-daerah yang tidak melaksanakan pilkada, tapi juga terasa di seratus daerah yang justru juga sedang melaksanakan perhelatan yang sama seperti Jakarta.

Terasa ironis memang, pilkada ialah bagian integral dari proses desentralisasi politik. Akibat pilkada DKI Jakarta, Pilkada 2017 terasa lebih mencerminkan sentralisasi politik yang sebenarnya. Sentralisasi politik sangat mungkin juga berarti sentralisasi ekonomi dan sosial. Sentralisasi politik juga sangat mungkin berarti ketimpangan politik, ekonomi, dan sosial.

Fenomena pilkada 'nasional' DKI mestinya menjadi hentakan kesadaran (wake up call), terutama bagi pemerintah bahwa pembangunan yang benar-benar 'mengindonesia' masih jauh dari harapan.  Doktrin 'membangun dari pinggiran' yang diyakini Presiden Jokowi memerlukan komitmen dan kerja yang sangat keras untuk dapat diwujudkan.

Fenomena pilkada 'nasional' DKI juga mencerminkan mentalitas berpikir bangsa kita yang masih melihat Jakarta sebagai segalanya (the only shining hill). Berbagai kelompok masyarakat, dari segi etnik, agama, kelas sosial-ekonomi, kedaerahan, usia, dan mungkin juga gender, sangat mungkin melihat Jakarta sebagai refleksi keadaan mereka juga. Karena itu, masuk akal kalau ada keyakinan bahwa pertarungan politik di Jakarta ialah pertarungan politik mereka juga. Walhasil, pilkada DKI secara administrasi ialah peristiwa lokal, tapi secara substansi, boleh jadi memang bersifat nasional.

Tentu kita bisa memahami bahwa karakteristik khas DKI Jakarta membuat ia relatif menjadi perhatian semua rakyat Indonesia. Jakarta ialah ibu kota yang keputusan-keputusannya di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya, langsung atau tidak langsung punya pengaruh terhadap kondisi nasional. Politisi yang bertarung dalam politik Jakarta ialah politisi berkelas nasional. Atau, politisi lokal yang bertarung di Jakarta akan naik kelas menjadi politisi nasional. Politisi yang menang di Jakarta, sudah ada buktinya, punya kesempatan luas untuk menjadi pemimpin nasional.

Akan tetapi, tingkat kenasionalan Pilkada DKI 2017 melampaui hal-hal yang bisa kita maklumi tersebut. Ia mengonsumsi energi bangsa secara masif. Yang terlibat mulai kelas masyarakat biasa hingga pemimpin tertinggi negeri. Ia merambah dunia nyata sehari-hari hingga dunia maya di media biasa dan media sosial.

Mengapa bisa terjadi demikian?

Salah satu penyebabnya ialah kelambanan, baik dari pemerintah, maupun dari para pemimpin masyarakat untuk melokalisasi masalah.  Misalnya, pilkada DKI seharusnya tetap bisa dikembalikan sebagai pilkada DKI, bukan pemilihan presiden. Tokoh-tokoh nasional atau tokoh bangsa tidak perlu larut dan memandang pilkada DKI sebagai pertarungan antartokoh tersebut. Sudah jadi persepsi umum, tampaknya, kalau yang terjadi adalah sebaliknya.

Masalah sensitif terkait dengan elemen etnik dan agama juga semestinya dengan cepat ditangani sehingga tidak menimbulkan menyebarnya rasa saling tidak percaya antar kelompok masyarakat. Tentu saja hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan.

Partisipasi pemilih

Masih cukup banyak masalah lain yang bisa kita identifikasi dari pilkada serentak 2017 ini. Temuan sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) masih mendapati persoalan-persoalan yang sudah menjadi klasik seperti masih adanya kesemrawutan daftar pemilih tetap (DPT), politik uang, dan pelanggaran etik oleh penyelenggara pilkada. Bahkan, pilkada 2017 juga ditandai dengan adanya calon kepala daerah yang sudah menjadi tersangka korupsi oleh KPK, tetap terpilih sebagai kepala daerah.

Terlepas dari berbagai kekurangannya, Pilkada 2017, seperti pilkada serentak pertama 2015, dapat dinilai cukup sukses dilaksanakan. Belum ada persoalan serius yang muncul yang dapat mengurangi legitimasi pelaksanaannya. Angka partisipasi pemilih di banyak tempat, seperti Jakarta, mengalami peningkatan yang signifikan. Ada kemungkinan pilkada 2017 diikuti pemilih dengan jumlah yang lebih banyak dari Pilkada 2015. Karena perhitungan resmi dari KPU masih berlangsung, kita masih harus menunggu bagaimana hasil akhirnya. Untuk saat ini, kita bolehlah mengucapkan selamat kepada KPU, selamat kepada pemerintah, selamat kepada bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar