Kamis, 23 Maret 2017

Absurditas Kemanusiaan

Absurditas Kemanusiaan
Saifur Rohman  ;   Pengajar Filsafat Universitas Negeri Jakarta
                                                        KOMPAS, 22 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam sidang perdana di Pengadilan Malaysia, Rabu (1/3/2017), Siti Aisyah dituduh dengan Pasal 302 Undang-Undang Hukum Pidana Malaysia tentang pembunuhan berencana dengan ancaman maksimal hukuman mati.

Tuduhan itu berdasarkan peristiwa kematian Kim Jong Nam di bandara Malaysia dua minggu sebelumnya (13/2/2017). Pemerintah Malaysia menduga Siti Aisyah merupakan pelaksana lapangan dari praktik intelijen.
Kasus tersebut mirip dengan proses pengadilan Pollycarpus Budihari Priyanto, 12 tahun lalu. Kamis (1/12/2005), jaksa penuntut umum menuntut Pollycarpus penjara seumur hidup karena terlibat pembunuhan berencana aktivis HAM Munir. Munir meninggal pada 7 September 2004 di dalam pesawat jurusan Amsterdam pada usia 38 tahun.

Kasus pembunuhan tersebut adalah fakta yang harus dihadapi dan pengadilan adalah simbol kemajuan kemanusiaan. Pertanyaannya, bagaimana rasionalitas manusia menangani kasus tersebut? Ketika kasus ini menjadi ujian bagi pencapaian rasio,  bagaimana dampak terhadap pengembangan nilai kemanusiaan ke depan? Berapa nilai kita sebagai manusia?

Nilai manusia

Ada beberapa kesamaan pada kedua kasus. Baik Aisyah maupun Pollycarpus adalah warga negara dengan hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Mereka sama-sama terlibat kasus pembunuhan berencana dan diadili oleh negara. Mereka samasama diduga sebagai "pelaksana lapangan" dari operasi intelijen sehingga juga sama-sama dituntut hukuman berat.

Bedanya, apa yang dialami Siti Aisyah baru berada pada tahap pengadilan, sedangkan Pollycarpus sudah sampai vonis dan eksekusi hukuman. Alur perjalanan Aisyah bisa saja berbeda dengan Pollycarpus, tetapi pembunuhan berencana yang berasal dari praktik terlatih dan sistematis ini mengikutsertakan konteks politik dan nilai-nilai kebangsaan.

Apabila ditempatkan dalam alur sejarah, kejahatan kemanusiaan yang berlindung di balik kekuasaan seperti mementahkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang telah diperjuangkan oleh selama ini. Ada tiga pencapaian penting dalam satu abad terakhir, yakni sistem perundang-undangan, sistem filsafat, dan sistem kepemerintahan.

Pertama, sistem perundangundangan untuk melindungi nilai manusia. Setelah Perang Dunia II, dunia menghasilkan perlindungan melalui Deklarasi Universal HAM 1948 yang ditandatangani oleh negara-negara yang terlibat perang. Mereka menyatakan bahwa setiap manusia dilahirkan setara dengan harkat dan martabat yang sama.

Kedua, sistem filsafat yang menjadikan manusia sebagai subyek utama kemanusiaan. Pemikiran ontologis  telah sampai pada sistem filsafat eksistensialisme untuk menunjukkan tentang keberartian setiap individu.  Jean-Paul Sartre menerangkan pentingnya ada-untuk-diri sebagai bukti filosofis tentang nilai penting hak untuk merdeka, hidup, dan sejahtera.

Ketiga, perangkat kekuasaan telah menjadikan setiap orang sebagai penentu keputusan. Hal itu dibuktikan melalui perangkat kepemerintahan yang mengatasnamakan demokrasi untuk menunjukkan eksistensi setiap individu sebagai penentu nasib negeri.

Persoalan yang terjadi, pencapaian nilai-nilai kemanusiaan tersebut bukannya tanpa perkecualian. Dalam konteks hak asasi manusia, seorang yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan dapat dihilangkan hak hidupnya melalui "pembunuhan berencana". Jadi, pembunuhan  sebetulnya bisa dilakukan pemerintah asal ada amanat perundang-undangan dalam bentuk hukuman mati. Dalam skala besar, "pembunuhan berencana" dapat pembenaran dalam kondisi perang.

Kajian klasik Hannah Arendt (1951) menjabarkan kasus pembunuhan individu dan kelompok ditempatkan dalam konteks "nasionalisme". Dalam bab "Race before Racism", kasus genosida terhadap Yahudi oleh Nazi, kekejaman Stalin yang menyentuh ruang-ruang privat, hingga kasus-kasus penganiayaan di wilayah kolonial Hindia Belanda di Asia Tenggara memberikan relevansi penting antara semangat kebangsaan dan motif pembunuhan berencana.

Apabila teori itu direfleksikan dalam kasus yang terjadi, pembunuhan berencana pada masa sekarang juga tidak bisa dilepaskan dari rasionalitas kebangsaan. Efek kematian Kim Jong Nam telah memperburuk hubungan diplomatik Korea Utara dan Malaysia. Korea Utara menyebut kematian Kim Jong Nam sebagai serangan jantung, sedangkan Pemerintah Malaysia menyebut sebagai tindak kejahatan.

Kematian Kim Jong Nam diduga karena racun mematikan. Modus operandinya, pelaku mendekati korban kemudian membekap dengan sapu tangan beracun. Pelakunya diduga Siti Aisyah (25), warga negara Indonesia. Di Malaysia, ia berstatus pramuniaga klub salon. Menurut Siti, ia sempat didekati pria misterius. Ia mengaku diajak shooting reality show untuk mengerjai orang di bandara dan terjadilah pembunuhan itu.

Kenyataan tersebut menunjukkan perlunya "latihan" dan kemampuan tertentu untuk menjalankan rencana matang. Hal itu tidak berbeda dengan kasus pembunuhan Munir. Kronologisnya, tiga jam setelah naik pesawat dengan kode penerbangan GA-974 dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot bahwa penumpang pada tempat duduk 40G menderita sakit setelah Munir bolak-balik ke toilet. Penerbangan Singapura-Amsterdam membutuhkan waktu 12 jam, tetapi dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schiphol Munir tewas. Lima hari kemudian kepolisian Belanda mengumumkan Munir diracun.

Satu tersangka

Kematian Munir telah membawa Pollycarpus Budihari Priyanto sebagai tersangka. Pada 20 Desember 2005, dia dijatuhi vonis 14 tahun penjara.
Delapan tahun kemudian, Sabtu (29/11/2014), Pollycarpus bebas bersyarat dari penjara Sukamiskin, Bandung. Sampai sejauh ini, motif pembunuhan yang terungkap ke publik adalah rasa "nasionalisme yang tinggi" sehingga dia bermaksud menghentikan pengkritik pemerintah.

Nyatanya tantangan pada masa lalu berbeda dengan masa kini. Ada tiga fakta penting untuk masa depan. Pertama, tantangan bagi rasionalitas kebangsaan. Kasus-kasus tersebut telah menempatkan rasionalitas tentang pembunuhan dalam konteks nilai-nilai kebangsaan. Rasionalitas itu pula yang dijadikan legitimasi pembenar, baik bagi mereka yang tergabung dalam kepemerintahan maupun di luarnya. 

Kedua, lolosnya para penjahat dari kerangka jerat hukum masa kini. Fakta, hasil penelusuran rasional menunjukkan bahwa para pelaku yang dihukum berada dalam fungsi "tenaga lapangan" dari sebuah tujuan yang ditetapkan pemegang kekuasaan. Sejauh ini kasus pembunuhan berencana tersebut tidak pernah mampu mengungkap para pelaku di balik pelaku lapangan.

Ketiga, munculnya absurditas kemanusiaan. Perangkat rasionalitas yang telah terbangun selama ini untuk mengembangkan nilai kemanusiaan menjadi benteng ringkih ketika berhadapan dengan kejahatan terencana para pemegang kekuasaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar