Minggu, 26 Maret 2017

Merawat Warisan Pakde Karwo

Merawat Warisan Pakde Karwo
Airlangga Pribadi Kusman  ;   Pengajar Departemen Politik FISIP
Universitas Airlangga Surabaya
                                                      JAWA POS, 23 Maret 2017


                                                                                                                       
                                                                                                                                                           

Perlahan-lahan dinamika politik Jawa Timur (Jatim) menggeliat menuju momen politik Pemilihan Gubernur Jatim 2018. Ketika persiapan tengah dilakukan para aktor politik yang tengah berlaga, hal penting untuk diperhatikan warga Jatim adalah warisan pembangunan apa yang telah dikerjakan Gubernur Jatim Soekarwo selama dua periode. Apa yang telah dicapai Jatim dalam masa kepemimpinannya selama dua periode?

Menimbang warisan pembangunan tersebut penting bukan lantaran romantisme. Mempertimbangkan warisan pembangunan yang telah ditorehkan dalam masa kepemimpinan Pakde Karwo –sapaan akrab Soekarwo– dapat membantu kita memahami peta dan jalan pembangunan Jatim.

Hal itu terkait dengan prinsip-prinsip apakah yang telah diletakkan Soekarwo untuk membangun Jatim? Sudah sampai manakah perjalanan Jatim melangkah? Apakah yang harus dirawat dan manakah yang harus diperbaiki maupun diperkuat? Selanjutnya, berhubungan dengan Pemilihan Gubernur Jatim 2018, bagaimanakah publik menilai kualitas dan kapabilitas kandidat gubernur mendatang berdasar apa yang telah dicapai Jatim sampai saat ini?

Prinsip Trisakti

Dalam sebuah dialog yang dipublikasikan jurnal akademik Prisma volume 32 tahun 2013 dengan tema Neomarhaenisme dalam Globalisasi, Pakde Karwo mengutarakan bahwa prinsip pembangunan yang dia terapkan untuk membangun Jatim bersandar pada Trisakti, sebuah prinsip pembangunan bernegara dari Soekarno yang berpijak pada berdikari secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Dalam era globalisasi, prinsip Trisakti dikontekstualisasikan melalui metode perjuangan baru di era globalisasi.

Ketika arus besar neoliberalisme ekonomi dan liberalisasi politik menjadi gelombang yang mengalir deras di Indonesia, menjadikan Trisakti sebagai sebuah poros utama pembangunan Jatim adalah sebuah keberanian. Dalam kontekstualisasi Trisakti, politik partisipatoris yang bernapas kerakyatan menjadi pintu pembuka mengelola urusan ekonomi menuju kesejahteraan. Sementara di dalam pembangunan ekonomi yang mempertimbangkan keseimbangan antara pertumbuhan dan redistribusi, kesanggupan sektor ekonomi untuk berdikari berperan menghadirkan warga yang mandiri dan mampu mengawal serta berpartisipasi dalam demokrasi politik. Selanjutnya, dalam konvergensi antara politik yang berdikari dan ekonomi yang mandiri, tumbuhlah kebudayaan warga Jatim yang berkepribadian.

Landasan Trisakti yang menjadi pijakan pembangunan di Jatim ini dalam kepemimpinan Pakde Karwo tidaklah semata-mata menjadi jargon-jargon politik tanpa substansi. Postur ekonomi di Jatim berkembang dengan baik karena konsentrasi kebijakan pada era Pakde Karwo yang memprioritaskan pasar dalam negeri. Neraca perdagangan Jatim pada 2012, misalnya, surplus sampai Rp 62 triliun dengan sekitar 80 persennya atau Rp 50 triliun berasal dari perdagangan antara Jatim dan 24 provinsi di Indonesia (Prisma, 2013). Kemandirian ekonomi garis Trisakti pada masa kepemimpinan Pakde Karwo diarahkan pada upaya memperkuat pasar dalam negeri, termasuk pada sektor barang dan jasa. Sedangkan pada 2016 tercatat bahwa surplus neraca perdagangan Jatim USD 10,580 juta (Kominfo.jatimprov.go.id).

Sementara ilustrasi lain dapat dimunculkan terkait dengan kepedulian dan prioritas kebijakan atas sektor UMKM di Jatim. Perhatian pada sektor usaha kecil dan menengah dalam pembangunan adalah kunci pemahaman atas ajaran ekonomi-politik Bung Karno, yakni marhaenisme. Kaum marhaen adalah mereka yang terhimpun dalam ruang lingkup kaum pekerja dan usaha kecil di mana saka gurunya adalah kaum tani pemilik alat produksi kecil yang diorganisasi secara ekonomi-politik untuk memenuhi hajat hidup dan memperkuat kemakmurannya.

Dalam konteks pembangunan di Jatim, fokus atas sektor UMKM atau lapisan marhaen ini diterjemahkan dalam policy dengan mendistribusi uang yang idle di Bank Jatim yang digunakan untuk memberdayakan sektor UMKM. Hasilnya, pada 2012 sektor UMKM di Jatim berkembang sampai 6,8 juta jiwa, naik dari 2006 yang hanya 4,2 juta jiwa (Prisma, 2012). Jumlah UMKM yang ada pada 2016 menunjukkan adanya serapan tenaga kerja se-Jatim sebesar lebih dari 11 juta jiwa (www.diskopmkm.jatimprof.go.id)

Arus Balik Ekonomi Dunia

Apabila dihubungkan dengan tren global, koreksi terhadap liberalisasi ekonomi besar-besaran itu telah menjadi sebuah keinsafan baru di antara kalangan ekonom dunia. Joseph E. Stiglitz, profesor ekonomi dari Columbia University, dalam Making Globalization Works mengutarakan, agar globalisasi menjadi sebuah jalan pembangunan yang berkesinambungan, keadilan sosial di mana penguatan daya tahan ekonomi rakyat harus menjadi prioritas utama di mana ekspansi ekonomi sektor bisnis menyesuaikannya.

Selanjutnya, ekonom dari Cambridge University Ha-Joon Chang (2007) dalam Bad Samaritans membuka resep rahasia kesuksesan dari negara-negara kaya. Resep ekonomi itu adalah sebelum negara-negara tersebut mapan secara ekonomi, mereka memprioritaskan pada perlindungan ekonomi rakyatnya sendiri, kaum marhaen dari negeri mereka masing-masing. Di mana hubungan ekonomi dengan negara lain dalam bentuk masuknya investasi asing ke negara seperti USA dan Prancis pada awal sejarah pertumbuhannya tidak dibiarkan berkarakter liberal namun protektif. Resep pembangunan seperti itu yang disimpan negara-negara maju. Sementara negara-negara berkembang menyerukan jargon-jargon ekonomi liberalisme untuk membiarkan rakyat kecil bertarung dengan kekuatan ekonomi besar.

Apa yang menjadi keinsafan dari para ekonom dunia saat ini sudah puluhan tahun lalu dipahami Bung Karno saat melahirkan Trisakti sebagai peta jalan pembangunan Indonesia. Sementara mutiara peta jalan pembangunan Indonesia Trisakti telah disadari Soekarwo untuk menggerakkan pembangunan di Jatim.

Pertanyaannya sekarang, siapakah yang akan merawat warisan Pakde Karwo selama lima tahun mendatang? Apakah dia Wagub Jatim Saifullah Yusuf yang dikenal piawai membangun silaturahmi-komunikasi politik, pekerja keras seperti Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, atau Srikandi Santri sang pemberani Khofifah Indar Parawansa? Ataukah yang lain, mari kita tunggu dan nilai bersama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar