Senin, 24 April 2017

Berkaca pada Pilkada Jakarta

Berkaca pada Pilkada Jakarta
M Qodari  ;   Direktur Eksekutif Indo Barometer
                                                        KOMPAS, 22 April 2017


                                                                                                                                                           

Riuh-rendah Pilkada DKI akhirnya mencapai puncak 19 April 2017. Hasilnya sudah kita maklumi bersama. Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno terpilih mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat di putaran kedua.

Pasangan Anies-Sandi berhasil membalik fenomena yang banyak terjadi, termasuk dalam Pilkada DKI 2012, di mana pasangan yang unggul di putaran pertama kembali unggul di putaran kedua. Apakah kemenangan Anies-Sandi sebuah kejutan? Tidak. Itu jawaban yang saya sampaikan di televisi swasta jelang dimulainya hitung cepat (quick count) pukul 13.00. Justru kalau Basuki-Djarot menang itu kejutan mengingat 90 persen survei yang dilakukan jelang akhir masa kampanye menunjukkan keunggulan Anies-Sandi. Rentang keunggulannya saja yang berbeda-beda antarlembaga. Antara 1 dan 10 persen. Jadi, ini hasil yang sangat terduga.

Dari survei tampak pula variabel-variabel yang memengaruhi pilihan masyarakat. Apa saja variabel-variabel itu? Dalam setiap pilkada selalu ada tiga variabel besar yang bekerja memengaruhi pilihan masyarakat. Pertama, variabel rasional seperti persepsi mengenai kemampuan calon dan kinerja petahana. Kedua, variabel kepribadian seperti kesukaan/ ketidaksukaan kepada kandidat. Dan, ketiga, variabel sosiologis/ primordial seperti kesamaan latar belakang suku dan agama.

Dalam aspek rasional, sebenarnya Basuki-Djarot unggul dibanding Anies-Sandi. Dalam debat di acara Mata Najwa, misalnya, publik menilai penampilan Basuki lebih baik dibanding Anies. Hal ini konsisten dengan survei-survei terhadap debat-debat putaran pertama. Dari segi kepuasan publik, angka penilaian terhadap Basuki lebih dari 70 persen. Lazimnya, calon dengan tingkat kepuasan setinggi ini cenderung didukung mayoritas pemilih.

Kelemahan Basuki bukan pada kinerja, melainkan pada variabel kedua dan ketiga. Untuk variabel kepribadian, kesukaan terhadap kandidat, skor Basuki paling rendah, bahkan lebih rendah daripada Djarot dan Sandi. Skor kesukaan pada Basuki 60 persen. Pada Djarot dan Sandi di kisaran 70 persen. Sementara Anies 80 persen.

Variabel suku dan khususnya agama juga menjadi kelemahan Basuki. Pemilih beragama Kristen dominan kepada Basuki-Djarot, sementara mayoritas pemilih Islam mendukung Anies-Sandi. Hal ini penting dan menarik karena terjadi pergeseran komposisi dukungan pemilih Islam pada Basuki-Djarot. Sebelum peristiwa Al Maidah 51 di Kepulauan Seribu, pemilih Muslim mayoritas ke Basuki-Djarot. Namun, setelah peristiwa itu, mayoritas pemilih Muslim pindah ke Anies-Sandi.

Di satu sisi kita bisa menyatakan: ini kesalahan seorang Basuki. Mulutmu, harimaumu. Kata pepatah lama. Tujuan dan kegiatan Basuki di Kepulauan Seribu adalah untuk bicara tentang program perikanan. Untuk apa dia: (1) berbicara soal Pilkada DKI, (2) jikapun bicara pilkada, untuk apa dikaitkan dengan soal memilih atau tak memilih siapa, (3) jikapun bicara soal dukungan politik dan alasannya, tidak perlu mengutip kitab suci agama lain.

Di sisi lain tidak dapat dimungkiri bahwa terjadi upaya framing (pembingkaian) dan mobilisasi isu agama dan rasial terhadap Basuki. Upaya framing dan mobilisasi isu itu mendapatkan pintu masuk yang terbuka lebar dengan adanya peristiwa Al Maidah 51. Framing dan mobilisasi isu penodaan agama kemudian dikait-kaitkan dengan latar belakang agama dan rasial Basuki. Yang terjadi kemudian adalah sebuah "big bang" (dentuman besar) opini dan mobilisasi massa seperti yang terlihat pada peristiwa 411 dan 212.

"Kudeta merayap"

Ada yang mengatakan, dentuman besar opini dan mobilisasi massa tidak lepas dari bertemunya berbagai kepentingan kelompok dan tokoh politik. Ada yang berkepentingan dengan Pilkada DKI 2017. Ada pula yang bermain catur politik kekuasaan nasional baik untuk tujuan sekarang maupun 2019. Pendapat ini tentu tak dapat dinafikan. Itu sebabnya isu "kudeta merayap" dan sejenisnya turut berkembang dalam dinamika Pilkada DKI. Tak semua elite politik mau dan sabar menunggu momentum pemilu berikutnya untuk kesempatan pergantian kekuasaan. Terlepas dari alasan dan perbedaan konteks, peristiwa pergantian kekuasaan nasional di 2001 dan 1965 telah dijadikan referensi dan preseden sejarah bahwa pergantian kekuasaan di tengah jalan adalah suatu "celah" dalam dinamika kekuasaan nasional.

Namun, di luar faktor manuver elite, rasanya memang ada yang ditata kembali dalam masyarakat kita. Sebab, politik identitas tak berada di ruang hampa. Upaya framing dan mobilisasi punya batas kemampuan. Tanpa harus berdebat tentang berapa jumlah persis massa yang hadir dalam peristiwa 411 atau 212, kita dapat akui itulah momen pengumpulan massa di satu titik yang terbesar dalam sejarah Indonesia. Pastinya, ada perasaan kolektif yang sama yang mampu menggerakkan massa dalam jumlah sebesar itu.

Indikator lain soal perasaan kolektif adalah masifnya penyebaran informasi atau isu berbasis SARA pada satu sisi dan benturan-benturan keras antarpribadi dan kelompok sebagai akibat penyebaran isu-isu yang membelah. Adapun perbenturan paling keras tak (dapat) kita saksikan di media massa konvensional seperti televisi atau koran karena figur-figur yang tampil di sana elite politik yang terlatih berakrobat kata-kata atau telah melalui proses editing kuat dari redaktur media massa. Perbenturan paling keras justru terjadi di ruang-ruang bersifat personal seperti grup Whatsapp atau Facebook dan ranah media sosial seperti Instagram dan Twitter. Pertukaran kata-kata kasar yang berujung pada ketersinggungan dan permusuhan banyak terjadi dalam kurun enam bulan selama pilkada.

Isu SARA

Tanpa bermaksud untuk menimbulkan pesimisme, isu SARA dan politik identitas diperkirakan kembali muncul dalam kontestasi politik ke depan seperti Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Apa dasar pemikiran ini? Pertama, fenomena politik identitas dan isu SARA di Pilkada DKI sesungguhnya mirip Pemilu 2014.

Tema-tema yang muncul saat itu seperti soal ras, agama, siapa penguasa aset ekonomi terbesar di Indonesia, serta dukungan politik yang diberikan penguasa ekonomi pada calon tertentu kembali muncul pada 2017 ini. Ingat tabloid Obor Rakyat? Pilkada DKI 2017 adalah Pilpres 2014 minus Obor Rakyat. Jika politik identitas telah muncul dua kali dalam Pilpres 2014 dan Pilkada 2017, kiranya tak salah menduga hal itu akan muncul lagi di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.

Kedua, politik identitas dan framing isu tak akan berhasil apabila latar makro dari masyarakat Indonesia tak kondusif untuk tumbuh dan berkembangnya isu dan framing demikian. Politik identitas dan framing isu tak berada dalam ruang hampa. Ia memiliki akar kuat dan dalam pada realitas politik (sebagian) masyarakat. Pasti ada sebagian kelompok masyarakat yang merasa tak puas, terancam, atau minimal tak suka dengan realitas ekonomi dan politik tertentu yang membuat mereka mudah masuk dalam politik identitas dan isu SARA sebagai sarana penyaluran frustrasi sosial dan politik mereka.

Mengapa mereka tak suka realitas politik tertentu? Kajian-kajian konflik dan psikologi sosial mengenal konsep deprivasi relatif (relative deprivation), suatu konsep yang sering dipakai untuk menjelaskan munculnya suatu gerakan atau konflik sosial dan politik. Deprivasi relatif adalah suatu kondisi subyektif di mana seseorang atau kelompok merasa tak puas dengan kondisi yang dialami atau dimilikinya dibandingkan kondisi yang dimiliki orang atau kelompok lain. Perasaan tak puas ini bisa berkaitan dengan soal ekonomi (materi), hak politik, pengakuan, atau hal lain yang dianggap penting dan berharga.

Siapakah mereka ini? Identifikasi tentang siapa mereka dapat dilakukan dengan melihat kelompok-kelompok dan individu-individu yang muncul di permukaan serta retorika-retorika yang dipakai. Tentu pemerintah memiliki perangkat dan instrumen untuk mengidentifikasi. Tapi yang tak kalah penting, mengidentifikasi persoalan mendasar yang menyebabkan timbul dan kuatnya isu politik identitas dan SARA dalam politik kita belakangan ini.

Persoalan itu tak lain persoalan kesenjangan ekonomi penduduk seperti tecermin pada koefisien Gini. Juga tecermin kesenjangan penguasaan aset antarkelompok masyarakat dalam peringkat orang terkaya Indonesia seperti dirilis majalah bisnis Forbes dan LSM internasional Oxfam. Pengalaman Pilkada DKI menunjukkan, pemerintah pusat harus segera mengambil suatu seri kebijakan yang mampu menyelesaikan, minimal mengurangi kesenjangan ekonomi ini, sehingga deprivasi relatif yang selalu muncul dalam bentuk politik identitas dan isu SARA tak muncul kembali dalam pilkada dan pemilu. Prioritas kebijakan yang harus diambil pemerintahan hari ini mungkin bukan pertumbuhan, melainkan pemerataan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar