Rabu, 26 April 2017

Pilkada Jakarta 2017: Kalau Ahok atau Anies Menang

Pilkada Jakarta 2017: Kalau Ahok atau Anies Menang
Toriq Hadad  ;   Wartawan Senior TEMPO
                                                   INDONESIANA, 19 April 2017



                                                           
Jakarta melaksanakan pemilihan kepala daerah hari ini. Sekitar 6,9 juta penduduk Jakarta akan memilih salah satu dari dua pasangan calon pemimpinnya: Ahok-Djarot atau Anies-Sandi. Tapi yang sibuk bukan hanya penduduk Jakarta, praktis seluruh penjuru negeri seperti “terlibat” pilkada Jakarta ini.

Siapa pun yang menang, sejarah mencatat pilkada 2017 ini sebagai salah satu yang tergolong buruk sepanjang sejarah pemilihan di Jakarta. Isu agama dan ras secara memualkan dieksploitasi menjadi alat untuk menyerang lawan politik. Keluarga, grup pertemanan, komunitas kantor, semua terbelah mengikuti pilihan politik. Suap merajalela, dan tidak seorang pun berani mengatakan kedua pasangan bebas dari cacat dan cela ini.

Sedihnya, yang diperdebatkan bukan program kedua pasangan, tapi stempel yang dilekatkan paksa pada kedua pasangan. Maka yang terdengar di mana-mana: pilih Ahok itu dosa karena dia “kafir” dan menista agama, pilih Anies itu menyuburkan radikalisme dan mengembalikan Orde Baru karena dia dirangkul Rizieq serta Cendana.

Adu program yang sebenarnya terjadi, paling tidak pada saat debat, seakan-akan tidak lagi mempengaruhi pilihan di Tempat Pemungutan Suara pagi ini.

Saya setuju dengan pendapat ini: siapapun yang menang, ketegangan tidak akan segera pergi dari Jakarta. Perbedaan ini akan lama mengendap, butuh usaha yang kuat dan jujur dari sang pemenang untuk mengakomodasi yang kalah.

Bila tak ditangani serius, kelompok kalah akan tetap bertahan sebagai “kelompok penolak”, resisten terhadap semua program, apatis, bahkan mungkin destruktif -- semua sikap yang sangat menghambat pemenang untuk membangun Jakarta.

Tapi lebih baik kita tidak berkutat pada yang sudah ditunjukkan Ahok atau Anies selama ini, tapi membayangkan Jakarta (dan Indonesia) yang kita impikan untuk masa mendatang ini.

Yang kita impikan adalah Jakarta yang bebas korupsi dan pungli. Kota yang menjadi cerminan praktek demokrasi kita. Kota yang menjunjung keberagaman atau pluralisme. Kota di mana kesetaraan warganya di mata hukum menjadi contoh bagi kota lain. Kota yang memberikan peluang ekonomi yang proporsional bagi warga. Kota yang adil bagi semua penghuninya, kota yang nyaman dihuni. Kota di mana pemimpinnya mau mendengar warganya, mau mendengar kritik, mau berembuk, berunding demi kebaikan bersama. Kota dengan pemimpin yang bersih dari korupsi.

Dengan Anggaran Daerah lebih dari Rp 70 triliun, tuntutan itu rasanya sangat masuk akal. Pemimpin Jakarta perlu memiliki standar kompetensi dan standar moral yang sangat tinggi. Pemimpin yang siap menerima yang kalah dalam barisannya.

Bagaimana kalau Ahok menang? Apakah dia mampu memenuhi semua impian ini? Ahok jelas memiliki kinerja yang baik sejak dia menggantikan Jokowi pada November 2014 lalu. Semua program dia jalankan dengan lugas, keras, dengan ketegasan yang luar biasa. Bicaranya blak-blakan, pedas, dan sengaja ia unggah rapat2 yang pedas dengan staf-nya itu di You Tube. Para pegawai DKI yang korupsi dia sikat habis.

Jakarta jelas berubah, warga merasakan perubahan positif itu. Kepuasan warganya pada kerja Ahok tidak diragukan. Seharusnya dengan semua itu Ahok melenggang menang di putaran pertama. Tapi fakta menyatakan dia tidak dipilih mutlak oleh warga yang dilayaninya itu. Sebagian besar warga Jakarta pasti puas akan kerja Ahok, tapi mereka banyak yang tidak memilih Ahok di TPS.

Apa yang terjadi sebenarnya? Tentu tak ada jawaban pasti atas “keterbelahan” sikap warga Jakarta ini. Saya menduga-duga dengan pertanyaan sederhana ini: kalau tidak ada kasus Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu itu, apakah Ahok akan menang satu putaran? Saya yakin jawabannya adalah: YA.

Artinya, kerja bagus Ahok seperti dilupakan ketika dia menyinggung hal paling sensitif dalam pandangan sebagian warga Jakarta: soal agama. Saya termasuk yang tidak percaya Ahok menista agama dengan ucapannya di Kepulauan Seribu itu, tapi ingatlah bahwa tidak semua orang tidak percaya. Banyak yang yakin penistaan terjadi, banyak yang “dipaksa” yakin oleh lawan politik Ahok.

Begitu kuatnya keyakinan penistaan itu dipompakan sampai-sampai menghanguskan semua hal baik yang sudah ditebar Ahok. Pendukung Ahok mungkin beranggapan: panas setahun dihapuskan oleh hujan sehari.

Tidak saya pungkiri, barangkali sebagian kecil warga masih ada yang beranggapan “tidak mau memilih keturunan Tionghoa” -- seperti juga sebagian yang lain “menolak memilih keturunan Arab”.

Maka, tantangan Ahok kalau ia terpilih adalah mengubah gaya kepemimpinannya. Gaya otoriter yang ia pakai selama ini sudah terbukti membuatnya harus tertatih-tatih melewati putaran kedua. Ini indikator yang jujur, tidak semua warga suka dengan style “suka-suka gue” yang ia jalankan. Ia mesti lebih sabar, termasuk menerima kritik dari lingkungan yang bukan teman-temannya. Ahok perlu paham, bahwa wartawan yang mengkritik itu bukan musuh (tidak perlu juga diusir dari Balaikota), dan kritik itu tidak berbahaya. Ia tidak perlu sesabar Jokowi dengan makan siang lebih 50 kali sebelum memindahkan pedagang pasar, tapi gaya buldozer hanya akan menuai problem yang tidak perlu datang kalau ia sedikit bersabar.

Tantangan terbesar Ahok tentu saja memberesi reklamasi. Ini tidak hanya menyangkut perizinan, tapi perlakuan terhadap investor raksasa seperti Aguan yang sudah menanam triliunan rupiah di sana versus keprihatinan nelayan dan para penggiat lingkungan hidup. Kebijakan apapun yang diambil Ahok kelak kalau ia menang, akan menunjukkan ke mana ia berpihak, maka semoga ia berhasil meniti buih.

Bagaimana kalau Anies menang? Anies terlempar dari kabinet Jokowi. Orang banyak bilang, itu lantaran Anies kelak bisa jadi kuda hitam pada pemilihan presiden 2019. Tapi tak sedikit yang mengatakan bahwa kinerjanya tidak kinclong sebagai menteri pendidikan. Ia tidak pernah memimpin birokrasi yang besar, maka banyak yang ragu apakah Anies sanggup mengatasi birokrasi DKI yang luas itu. Ia memang pernah bergiat di KPK, tapi banyak yang meragukan apakah ia seberani Ahok untuk memberantas korupsi di birokrasi Jakarta.

Lalu soal radikalisme. Kunjungan Anies ke markas FPI di Petamburan membawa kesan bahwa ia kelak sulit bersikap tegas kepada kelompok garis keras itu. Memang tidak adil menimpakan meningkatnya radikalisme belakangan ini pada Anies seorang, tapi justru itu tantangan paling besar kalau Anies terpilih. Akankah dia sanggup mengatasi ulah kelompok-kelompok garis keras yang sekarang mendukungnya ketika ada masalah nantinya. Orang menunggu dengan cemas sikap Anies terhadap aksi sweeping, arak-arakan bermotor kelompok kupluk putih, atau razia ke tempat-tempat hiburan yang selama ini kerap mereka lakukan.

Orang juga akan menakar Anies dari hubungannya dengan Cendana, kalau ia menang kelak. Banyak yang bilang, membawa-bawa aspirasi Orde Baru bukanlah inspirasi yang baik bagi pemimpin yang bekerja demi masa depan, termasuk masa depan Jakarta. Jakarta merupakan etalase negeri, termasuk dalam membangun hubungan antara pemimpin dan rakyatnya. Kepemimpinan searah, yang tidak menumbuhkan partisipasi luas seperti dipertontonkan Orba, bukanlah contoh yang hubungan pemimpin-rakyat yang mesti dibangun di Jakarta.

Anies mesti membuktikan diri kelak bebas dari pengaruh Cendana ini dalam menjalankan kepemimpinannya, dan ini tidak akan mudah.

Banyak orang menyayangkan Anies yang seperti tidak pandai menutupi ambisi politiknya, untuk pada suatu hari sampai ke Istana. Ia dinilai kurang sabar, terburu-buru memutuskan meniti “jembatan” menuju kursi tertinggi Republik itu dengan ikut berlomba merebut Balaikota DKI.

Ia baru 47 tahun pada bulan Mei ini –lebih muda daripada Ahok yang 50 tahun. Sikap yang dianggap terburu-buru ini membuat Anies seperti ingin cepat-cepat meraih dukungan dari mana saja, tanpa perduli pada platform yang selama ini ia tunjukkan: sebagai orang yang moderat, toleran, punya visi masa depan yang baik.

Maka, Anies punya pekerjaan besar sesungguhnya, kalau ia rela berkunjung ke markas FPI Petamburan, bagaimana ia akan menunjukkan pada orang bahwa ia bukan bagian ide penyebaran agama versi kelompok itu. Bagaimana ia akan meredakan perbedaan di Jakarta yang terbelah akibat “doa bersama massal” yang sekarang justru dipuja-puja banyak orang dan seperti “diaminkan” Anies. Jakarta memerlukan tokoh pluralis yang bisa menjaga dan merawat kebhinekaan ini, demi masa depan bersama yang lebih baik.

Begitu pilkada selesai, Anies sudah tak bisa lagi berakrobat politik demi mendulang suara –kalau ia menang. Banyak orang menunggu, sikapnya yang menerima terbuka dukungan kelompok keras ini sikap yang temporer selama pilkada atau sikap permanen. Anies tidak bisa menjawab pertanyaan ini dengan pidato dan retorika, ia harus menjawabnya dengan tindakan dan program.

Kalau Anies menang, bagaimana dia akan menyamai prestasi kerja Ahok. Ini yang paling memeras keringat. Mengeruk sungai, membangun jalan layang, membangun apartemen murah, kartu Jakarta sehat, kartu Jakarta pintar, itu hanya sebagian yang mesti Anies kejar. Tidak akan mudah, apalagi dengan pengalamannya yang minim dalam birokrasi kota.

Anies menolak reklamasi. Tapi bagaimana ia akan menyelesaikan triliunan rupiah yang sudah ditanamkan di sana. Ia tidak bisa hanya berpikir kepentingan nelayan atau penggiat lingkungan, tapi juga jalan keluar yang win-win bagi pengusaha yang sudah kadung mengucurkan duit besar. Tidak mudah, perlu pikiran bjak dan terobosan berpikir yang tidak biasa.

Ahok dan Anies bukan pemimpin ideal untuk tugas besar memimpin Jakarta yang saya dan mungkin kita semua impikan. Tapi mereka berdua layak diberi kesempatan. Layak untuk tidak mendapat stigma yang salah: bahwa memilih Ahok itu “dosa”, memilih Anies itu menyuburkan yang “radikal”.

Saya tidak memilih Ahok. Saya memilih bukan Anies. Saya memilih Rano Karno. Dan kalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar