Sabtu, 17 Juni 2017

Islam dan Etika Bermedia (Sosial)

Islam dan Etika Bermedia (Sosial)
Muhammad Najib ;   Dosen STEBANK Islam Mr. Sjafruddin Prawiranegara Jakarta; Peneliti di Monash Institute Semarang
                                                     DETIKNEWS, 15 Juni 2017



                                                           
Sudah sejak lama para ulama Nusantara gelisah akan kondisi umatnya yang kian menjauh dari nilai-nilai agama (Islam). Kegundahan dan keprihatinan itu salah satunya tercermin dari ahli tafsir Indonesia, Quraish Shihab. Selain melalui dakwah bi lisan (ceramah), perasaan tersebut juga dituangkan dalam bentuk tulisan.

Pertengahan tahun lalu, Quraih Shihab meluncurkan sebuah buku berjudul Yang Hilang Dari Kita, Akhlak. Dalam pengantarnya, ulama sepuh Nusantara itu menyampaikan bahwa latar belakang penulisan bukunya bermula ketika heboh kasus yang secara bercanda diplesetkan dengan istilah "papa minta saham".

Kasus itu sesungguhnya hanya satu dari sekian banyaknya problematika akhlak di Indonesia. Lebih lanjut, Quraish Shihab menegaskan bahwa moral yang diajarkan dan dipraktikkan oleh leluhur bangsa, demikikan juga yang diajarkan oleh agama, tidak lagi terlihat dalam kehidupan keseharian kita. Ia telah hilang, lanjutnya, padahal ia adalah milik bangsa Indonesia yang paling berharga sekaligus sangat dihargai orang lain.

Kritik yang dialamatkan pada seluruh bangsa Indonesia itu kini benar-benar terasa menusuk, dan seharusnya menjadikan penyadaran bahwa etika, akhlak, dan sejenisnya telah lama kita abaikan. Ruang-ruang privat, bahkan publik sekalipun sungguh sudah dipenuhi oleh hasrat buas, ujaran kebencian, mengumbar aurat, dan mematikan karakter orang lain. Minus etika; itulah kata yang tepat untuk mengungkapkan realitas kekinian kita.

Semakin membuat jantung seakan mau copot manakala mengamati perkembangan paling mutakhir. Betapa media sosial (medsos) yang seharusnya dijadikan wahana untuk mempererat tali silaturahmi, berbagi pengalaman dan berita yang mencerahkan serta menyejukkan, justru digunakan secara "barbar"; menyebar berita bohong untuk melancarkan serangan kepada pihak lain.

Fitnah yang dalam agama jelas dilarang keras, di era keterbukaan informasi ini justru semakin marak, dan medsos lagi-lagi dijadikan sebagai media untuk menyebarkannya. Tidak hanya fitnah, medsos juga menjadi ajang ghibah, namimah (adu-domba) dan sejenisnya. Sekali lagi, ini persoalan nasional yang berpotensi menimbulkan konflik politik, keagamaan, hingga perpecahan nasional.

Tentu sebagai umat mayoritas, atas persoalan yang melilit bangsa dan negara ini, Islam dan kaum muslim adalah yang paling bertanggung jawab untuk terlibat aktif menemukan solusi hingga tuntas. Terlebih Islam adalah agama yang sempurna, yang menyentuh seluruh aspek kehidupan, termasuk cara atau adab bermedia.

Etika Bermedia Perspektif Islam

Bully melalui medsos, tuduhan anti ini dan itu, serta komentar "nyinyir" adalah fenomena yang menghiasi medsos kita. Dan semua itu tidak pantas. Lantas, bagaimana Islam menyikapi fenomena bahwa etika bermedia sudah menjauh dari nilai-nilai dan ajaran Islam?

Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan panduan secara tegas dari kalangan agamawan. Bertolak dan dalam bingkai itulah, Muhammadiyah menginisiasi fikih informasi. Suatu hasil dari proses istimbath menggunakan sumber hukum Islam untuk menyikapi dan merumuskan bagaimana penggunaan teknologi dan informasi secara santun dan beradab (Suara Muhammadiyah, ed. Th. ke-102, Januari 2017).

Nantinya, fikih informasi yang diinisiasi Muhammadiyah itu akan diluncurkan dalam bentuk buku. Secara tegas, sesungguhnya ajaran Islam terkait etika bermedia sudah ada. Setidaknya terdapat beberapa etika yang dimaksud. Pertama, tabayyun (cek dan ricek).

Benar bahwa Islam tidak alergi terhadap perkembangan teknologi. Dalam QS Al-Hujarat ayat 6 disebutkan panduan bagaimana etika serta tata cara menyikapi sebuah berita yang kita terima. Quraish Shihab menerangkan bahwa ada dua hal yang patut dijadikan perhatian terkait ayat tersebut.

Pertama, pembawa berita; dan kedua, isi berita. Bahwa pembawa berita yang perlu di-tabayyun dalam pemberitaannya adalah orang fasiq. Yaitu, orang yang aktivitasnya diwarnai oleh pelanggaran agama.

Sedangkan menyangkut isi berita, penyelidikan kebenaran sebuah berita menjadi perhatian khusus dalam ayat tersebut. Penyeleksian informasi dan budaya literasi adalah komponen yang tidak bisa diabaikan. Jadi, tradisi mudah menge-share berita tanpa melakukan penyelidikan kevalidan secara mendalam tidaklah dibenarkan dalam Islam (Shihab, 2016:208-209).

Islam juga mengajarkan membuat opini yang jujur, didasarkan atas bukti dan fakta, lalu diungkapkan dengan tulus. Atau, dalam bahasa Quran "Seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit, pohon itu menjulang ke langit, pohon itu memberikan buahnya setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya." (QS Ibrahim: 24-25).

Kedua, haram menebar fitnah, kebencian, dan lainnya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga keagamaan tentu tidak bisa berpangku tangan melihat laku masyarakat dalam menggunakan medsos sebagaimana diungkapkan di atas.

Bertolak dari fenomena penyalahgunaan medsos itulah, MUI merasa tergugah sehingga mengeluarkan fatwa, yakni Fatwa MUI No 24 Tahun 2017 mengenai Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Dalam fatwa itu, ada lima poin larangan menggunakan medsos:

(1) melakukan ghibah, fitnah, namimah (adu-domba), dan menyebarkan permusuhan. (2) melakukan bullying, ujaran kebencian, dan permusuhan berdasarkan suku, ras, atau antara golongan. (3) menyebarkan hoax serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti info tentang kematian orang yang masih hidup. (4) menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala yang terlarang secara syari. (6) menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai dengan tempat atau waktunya.

Ketiga, menjamin dan mengatur kebebasan ekspresi. Sumadiria (2016:xiv) dalam bukunya Hukum dan Etika Media Massa: Panduan Pers, Penyiaran dan Media Siber mengemukakan bahwa Indonesia telah menikmati reformasi serta demokratisasi pers dan penyiaran sejak 1998.

Secara yuridis, dalam kurun waktu 1998-2008 saja, Indonesia telah memiliki lima undang-undang organik yang berkaitan langsung dengan masalah kebebasan berbicara, kemerdekaan menyatakan pendapat, kemerdekaan pers dan penyiaran serta kebebasan berkomunikasi melalui media dalam jaringan (online).

Bahkan perusahaan pers (media online) tidak perlu mengantongi izin. Silakan beritakan hal apa pun dan tentang siapa pun. Singkat kata, tren penggunaan media sosial adalah wujud dari kebebasan berekspresi pascareformasi. Tidak hanya negara yang menjamin kebebasan berekspresi, Islam pun demikian.

QS Ali Imran ayat 104 meminta agar setiap umat (manusia) membela apa yang baik benar. Namun, seperti disinggung Ziauddin Sardar dalam bukunya Ngaji Qur'an di Zaman Edan (2011), kebebasan berpendapat sering kali disalahgunakan untuk membuat fitnah, opini palsu, dan menebar kebencian yang sering diutarakan melalui media sosial.

Dalam Islam, laku culas semacam itu dilarang. Oleh sebab itu, Islam mengatur kebebasan berekspresi. Pengendalian moral adalah salah satu aturannya. Bahwa kaum beriman diminta untuk tidak "memaki sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas" (QS An-Nur: 4). Dan, juga diminta untuk tidak mengolok-olok yang lain, meskipun orang itu berbeda pendapat (QS Al-Hujarat: 11).

Jadi, kebebasan berekspresi yang digunakan untuk mengumbar kebencian dan permusuhan dilarang dalam Islam. Ada pembatasan alias pengendalian hukum dan moral terhadap kebebasan tersebut. Dengan demikian jelas sudah bahwa etika bermedia dalam Islam merumuskan pentingnya tabayyun sebelum membenarkan dan menyebarkan informasi. Menyebarkan kebencian dan membuat berita palsu juga dilarang keras oleh Islam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar