Senin, 19 Juni 2017

Jangan Bunuh KPK

Jangan Bunuh KPK
Denny Indrayana  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara UGM;  Profesor Tamu di Melbourne Law School dan Faculty of Arts University of Melbourne, Australia
                                                          KOMPAS, 18 Juli 2017



                                                           
Jika ada dua orang hukum bertemu, maka akan lahir tiga pendapat. Itu salah satu postulat yang kami pelajari saat kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Maka, jangan heran kalau ada profesor hukum yang berbeda pandangan soal legalitas hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi.

Berbeda pendapat itu hal yang lumrah dan harus dihormati. Yang jadi soal kalau beda pendapat itu sebenarnya karena alasan ”beda pendapatan”.

Banyak aspek hak angket DPR yang bisa diulas, kali ini saya akan membahas salah satunya saja: ”Makhluk apakah KPK itu sebenarnya”. Ada profesor yang mengatakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masuk ranah kekuasaan eksekutif, dan karena itu bisa diangket DPR. Ada lagi yang berpandangan, KPK adalah lembaga negara independen sehingga tidak bisa menjadi subyek angket DPR. Persamaan keduanya adalah angket hanya dapat dilakukan pada eksekutif (pemerintah), maka menjadi penting untuk memperjelas posisi kelembagaan KPK. Saya akan melihat kelembagaan KPK berdasar pendapat ahli, peraturan perundangan, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Pendapat pakar

Dalam buku Jangan Bunuh KPK (http://dennyindrayana.staff.ugm.ac.id/ publication/book), saya sudah mengulas masalah kelembagaan KPK. Salah satu kunci untuk melihat ”jenis kelamin” KPK adalah teori pemisahan kekuasaan (separation of powers). Kelompok pendukung angket masih terpenjara dengan konsep Montesquieu yang membagi kekuasaan hanya pada tiga cabang: eksekutif, legislatif, yudikatif. Padahal, teori itu sudah usang dan tak mampu lagi menjawab problematika ketatanegaraan modern.

Dalam artikelnya, ”The New Separation of Powers”, Bruce Ackerman menyimpulkan bahwa ketatanegaraan Amerika Serikat minimal mempunyai lima cabang kekuasaan, termasuk komisi negara independen (independent agencies) (Harvard Law Review, Volume 113:3, tahun 2000).

Abad ke-21 memang menghadirkan banyak komisi negara independen, dengan berbagai alasan. Di Afrika Selatan, Komnas HAM menjadi organ konstitusi sebagai jawaban dari politik diskriminatif apartheid. Di Indonesia, amandemen UUD 1945 menghadirkan Komisi Pemilihan Umum untuk memastikan penyelenggaraan pemilu profesional dan nonpartisan.

Komisi independen demikian punya beberapa ciri. Pertama, independensinya ditegaskan dalam dasar hukum pembentukannya. Kedua, karena independen, ia tak dapat diklasifikasikan sebagai salah satu dari tiga cabang kekuasaan Montesquieu. Ketiga, pimpinannya tak tunggal, tetapi kolegial, dan proses pemilihan ataupun pemberhentiannya melibatkan tak hanya satu cabang kekuasaan. Keempat, keberadaannya tak sementara atau ad hoc, beberapa bahkan menjadi organ konstitusi (constitutional organ). Kelima, kewenangannya mungkin beririsan dengan salah satu cabang kekuasaan, tetapi bukan berarti dia berada di ranah cabang kekuasaan itu.

Dalam bahasa Jimly Asshiddiqie dalam bukunya, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pascareformasi, komisi negara berada di luar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun, punya campur sari kewenangan ketiganya. Dalam bahasa yang hampir serupa, Funk dan Seamon (2001) mengatakan, komisi independen memiliki kekuasaan ”quasi legislative”, ”executive power”, dan ”quasi-judicial”. Argumen komisi independen adalah kuasi legislatif karena ia mempunyai kewenangan membuat peraturan sendiri (self-regulatory) body. Bahkan, menurut ensiklopedi Wikipedia, kekuatan aturan komisi negara independen di Amerika Serikat setara dengan undang-undang federal.

Yang lebih ditekankan dalam literatur Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara adalah komisi negara independen bukanlah eksekutif. Hal demikian karena masif dan luasnya ranah kekuasaan eksekutif. Asimow dalam bukunya, Administrative Law (2002), sengaja memisahkan komisi negara ke dalam dua kelompok: eksekutif (executive agencies) dan independen (independent agencies). Milakovich dan Gordon dalam Public Administration in America (2001) menggunakan istilah dependent regulatory agencies (DRAs) untuk yang masuk eksekutif, sebagai lawan dari independent regulatory boards and commissions (IRCs) untuk yang independen. Perbedaan utama lembaga eksekutif adalah kelembagaannya yang berada di bawah presiden, tidak demikian halnya dengan komisi independen.

Menurut undang-undang

Berdasar konsep tersebut, KPK jelas komisi negara independen. Independensi KPK diatur jelas dalam Pasal 3 dan penjelasannya di UU KPK. KPK adalah independent agency, bukan executive agency yang berada di bawah presiden. Meski menurut Pasal 6 UU KPK salah satu tugasnya ”melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi”, KPK tetap tak dapat dimasukkan sebagai ranah eksekutif sekalipun. KPK bukan lembaga sementara (ad hoc) sebagaimana selama ini dikampanyekan kelompok penentangnya. Berbeda halnya dengan beberapa lembaga pemerintah nonkementerian yang eksistensinya memang ad hoc, tergantung arah kebijakan presiden yang sedang menjabat.

Hak angket menurut UUD 1945 dan Pasal 79 Ayat (3) UU MD3 dilaksanakan untuk menyelidiki ”pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah”. Karena KPK bukan eksekutif (pemerintah), maka pendukung angket berkilah bahwa yang diselidiki adalah pelaksanaan UU. Mereka sengaja menafikan penjelasan pasal tersebut yang mengatakan, ”Pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, menteri negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian”.

Penjelasan Pasal 79 Ayat (3) itu harus dijadikan acuan resmi, yang dengan tegas membatasi pelaksanaan UU yang dimaksud UU MD3 adalah pelaksanaan di ranah lembaga-lembaga eksekutif sehingga pelaksanaan di luar eksekutif tak termasuk obyek hak angket. Karena KPK yang merupakan komisi independen (di luar eksekutif), maka pelaksanaan UU-nya tidak boleh menjadi obyek hak angket.

Putusan MK

Di antara sumber hukum tata negara berupa pendapat ahli, UU, dan putusan MK, seharusnya yang terakhir merupakan dasar hukum yang lebih mengikat. Pertama, karena putusan MK merupakan putusan final dan mengikat dan menjadi jawaban resmi atas makna UU yang diuji konstitusionalitasnya. Kedua, derajat putusan MK minimal setara dengan UU karena dia memaknai—bahkan dalam beberapa putusan mengubah dan membatasi—arti suatu UU. Oleh karena itu, soal kelembagaan KPK, kitaseharusnya merujuk pada putusan MK.

Paling tidak telah ada 18 putusan MK terkait kelembagaan dan kewenangan KPK. Soal KPK adalah komisi negara independen, yang tak berdasar tiga cabang kekuasaan klasik ala Montesquieu, ada dalam Putusan Nomor 012-016-019/ PUU-IV/2006. Pada pertimbangan di halaman 268, MK menyatakan, ”Doktrin klasik tentang pemisahan kekuasaan negara ke dalam tiga cabang kekuasaan kini telah jauh berkembang, antara lain ditandai oleh diadopsinya pelembagaan komisi-komisi negara yang di beberapa negara bahkan bersifat kuasi lembaga negara yang diberi kewenangan melaksanakan fungsi-fungsi kekuasaan negara”.

Selanjutnya soal kelembagaan KPK, minimal ada tiga putusan MK yang seharusnya dijadikan rujukan. Pertimbangan Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006 halaman 269, MK mengatakan, ”KPK dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutionally important) dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945”. Pertimbangan Putusan No 5/PUU/IX/ 2011 halaman 75–76, MK menegaskan, ”KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan…”.

Selanjutnya, pertimbangan Putusan No 49/PUU-XI/2013 halaman 30, MK kembali menegaskan, ”Pembentukan lembaga yang terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman termasuk KPK mempunyai landasan konstitusional pada Pasal 24 Ayat (3) UUD1945”.

Pada tiga putusan tersebut, MK secara konsisten menegaskan, KPK adalah komisi negara independen yang terkait dengan fungsi yudikatif berdasarkan Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945. MK sama sekali tak menyatakan KPK berkait dengan fungsi pemerintah, ataupun masuk ranah eksekutif, sebagaimana didalihkan beberapa pendukung angket KPK.

Dengan berbagai pandangan ahli, norma UU, dan putusan MK itu, seharusnya menjadi terang-benderang bahwa angket KPK merupakan tindakan inkonstitusional yang tidak sah secara hukum tata negara. Angket KPK tidak lain dan tidak bukan adalah modus baru dari upaya melemahkan—atau bahkan membubarkan—KPK. Tindakan demikian, yang menghalang-halangi tugas pemberantasan korupsi adalah obstruction of justice yang dapat dipidana berdasarkan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi. Akhirnya, mari kita tegaskan: ”Jangan Bunuh KPK”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar