Kamis, 15 Juni 2017

Kampus Kebangsaan

Kampus Kebangsaan
Yonny Koesmaryono ;   Wakil Rektor IPB, Bidang Akademik dan Kemahasiswaan
                                               MEDIA INDONESIA, 15 Juni 2017




                                                           
MEREBAKNYA isu radikalisme yang diduga tumbuh di kampus-kampus menjadi fenomena baru yang bisa mengancam eksistensi NKRI. Kampus merupakan kawah candradimuka untuk menggembleng calon-calon pemikir dan pemimpin bangsa yang memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni. Mereka diharapkan menjadi penerus bangsa dalam menjaga cita-cita Proklamasi Dasar Negara Pancasila dan UUD 1945. Mencerdaskan kehidupan bangsa mengandung makna tidak hanya membuat anak bangsa jadi pintar tapi juga cerdas secara intelektual, berbudaya, dan berkarakter kebangsaan Indonesia. Bukan cerdas menegasikan cita-cita Proklamasi, apalagi eksistensi negara.

Bagaimana mestinya kampus meneguhkan dirinya sebagai arena menyemai semangat nasionalisme dan kebangsaan Indonesia yang majemuk? Upaya pemerintah dengan membentuk Unit Kerja Presiden untuk Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) harus disikapi secara positif sebagai respons pemerintah mendorong lebih masif sosialisasi makna Pancasila dengan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar ideologi negara kepada seluruh anak bangsa.

Paradigma baru

Pendidikan tinggi di Indonesia wajib mengusung semangat kemajemukan adalah keniscayaan. Sejatinya, Indonesia adalah negara kebangsaan yang memiliki etnik, budaya, agama yang majemuk dengan geografi yang berciri kepulauan. Maka pendidikan tinggi di seluruh wilayah Tanah Air ini mestinya mengembangkan paradigma pendidikan yang bercirikan keberagaman, berbasiskan realitas (termasuk kearifan lokal), dan nilai-nilai luhur bangsa yang bersinergi dengan cara pandang modern yang mengedepankan efisiensi, inovasi, dan kreativitas.

Paradigma pendidikan semacam ini bakal menghasilkan lulusan yang hibrida dan khas Indonesia dalam ranah keilmuan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Bukan pendidikan tinggi yang eksklusif, hegemonik, dan ortodoks yang mengabaikan kemajemukan serta nilai-nilai luhur bangsa. Institut Pertanian Bogor (IPB) hampir empat dekade mengembangkan model penerimaan mahasiswa baru melalui jalur khusus yang dimulai pada 1970-an, diinisiasi Prof Andi Hakim Nasoetion (alm). Konsep baru model ini bukan sekadar proses pendidikan semata, melainkan juga implementasi cita-cita luhur bangsa dalam pemeratan kesempatan pendidikan bagi seluruh masyarakat.

Mahasiswa berasal dari seluruh wilayah Tanah Air dari Sabang sampai Merauke. Nilai positif yang terbangun dengan proses semacam ini yaitu, pertama, hidupnya tradisi kemajemukan (pluralisme) dalam pergaulan antarmahasiswa dan integrasi nasional. Beragamnya asal mahasiswa dari sisi geografis ataupun strata ekonomi menjadikan kampus IPB sebagai Indonesia yang kemudian dikenal dengan sebutan 'kampus rakyat'.

Kedua, pemerataan dalam mendapatkan akses pendidikan tinggi memberikan akses, kesetaraan, dan kesempatan yang sama (equality) bagi anak-anak bangsa untuk mendapatkan pendidikan tinggi terbaik di Indonesia. Secara ekonomi politik, model ini mempersempit kesenjangan antarwilayah karena sebagian alumnusnya bakal berkiprah di daerahnya dengan kemampuan dan kompetensi yang tinggi.

Ketiga, membangun kesadaran kolektif anak bangsa sebagai negara agraris-maritim juga beragam secara sumber daya alam hayati (biodiversity). Di pundak IPB dan mahasiswa melekat identitas 'pertanian' yang merupakan sumber kehidupan mayoritas rakyat Indonesia. Kesadaran kolektif ini membangkitkan nasionalisme dan semangat kebangsaan di kampus sebagai institusi untuk meneguhkan semangat kebangsaan Indonesia.

Sejatinya, IPB telah mengonsolidasikan dan mengontekstualisasikan paham kebangsaan dan kekeluargaan (baca: penjelasan UUD 1945) dalam konstruksi pendidikan tinggi pertanian. Jadi, amat muskil jika kemudian IPB menjadi kampus yang eksklusif, ortodoks, dan hegemonik yang membuat mahasiswa dan sivitas akademikanya tidak mencerminkan hakikat dasar manusia Indonesia, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.

Agenda strategis

Untuk mengkristalisasikan paradigma baru dalam pendidikan tinggi ini dan memupuk nasionalisme menuju kampus kebangsaan, penulis mengusulkan tiga agenda strategis, yaitu, pertama, proses pendidikan dan pembelajaran dalam dunia pendidikan tinggi mestinya mengembangkan metode yang bersifat majemuk dan heterodoks yang tidak berpatokan pada satu mazhab pemikiran.

Ilmu pengetahuan itu berkembang sangat dinamis dan cenderung lebih cepat daripada berkembangnya kearifan sosial. Contoh sederhana, dalam acuan sumber pembelajaran mata kuliah tidak mesti terpaku pada satu mazhab pemikiran tertentu, tetapi diperbolehkan atau bahkan didorong mempelajari mazhab yang lain agar mahasiswa mampu mengembangkan dialektika pemikiran secara dinamis dan kritis, bukan ortodoks yang monolitik.

Kedua, metode penelitian dalam pendidikan tinggi mestinya tidak memasung cara pikir mahasiswa sehingga hanya berpatokan pada satu metode, tetapi memberikan ruang untuk mengembangkan pluralisme metodologi dalam penelitian. Pluralisme metodologi secara ontologis bersifat holisme, sedangkan secara epistimologis bersifat realisme (berdasarkan pengalaman) dan tidak bersifat instrumentalisme. Pluralisme metodologi ini dicirikan aspek insklusif, historis empiris, generalisasi terbatas dan komparatif, bukannya analitik-deduktif generalisasi (Nofrian, 2009).

Ketiga, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi di era baru yang menguasai dunia sebagaimana telah diramalkan Alfin Tofler ternyata memengaruhi perilaku mahasiswa dan dunia kampus. Era generasi milenial yang melek teknologi informasi dan komunikasi sehingga dunia kian tanpa batas. Problemnya, kebijakan dan kurikulum pendidikan tinggi secara nasional lamban merespons perubahan yang revolusioner ini hingga menimbulkan kesenjangan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dunia maya menyediakan informasi pengetahuan baru berupa buku, jurnal, dan hasil-hasil riset yang membuat mahasiswa tidak hanya mengetahui satu mazhab pemikiran keilmuan tertentu, tetapi beragam mazhab pemikiran hingga secara tidak sadar ikut mengonstruksi dialektika dalam pemikiran. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi juga jangan sampai jadi ajang menyebarkan kebencian, paham radikalisme, dan antinasionalisme, hingga membahayakan eksistensi negara dan integrasi nasional. Makanya, kampus yang habitusnya menumbuhkembangkan kemajemukan berpikir dan menghargai perbedaan berperan sebagai katalisator dalam menangkal pemanfaatan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang menyesatkan.

Jika paradigma pendidikan tinggi di Indonesia dikembangkan dalam konteks yang penulis uraikan di atas, kekhawatiran kampus-kampus jadi ajang penetrasi dan arena tumbuh suburnya paham radikal, perilaku eksklusif, dan monolitik dalam kebenaran bakal mati dengan sendirinya. Diharapkan, itu akan mengembalikan kampus ke 'khitahnya' sebagai kawah candradimuka untuk melahirkan kader bangsa yang visioner dan berpegang teguh pada nilai-nilai luhur bangsa (termasuk kearifan lokal) yang sinergikan terhadap nilai-nilai modern yang positif. Hadirnya UKP-PIP diharapkan bersinergi dengan institusi pendidikan baik pada tingkat dasar dan menengah maupun perguruan tinggi, untuk menjaga ke-bhinnekatunggalika-an generasi muda dalam kerangka NKRI. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar