Jumat, 16 Juni 2017

Kredibilitas Kebijakan Pajak

Kredibilitas Kebijakan Pajak
Bhima Yudhistira Adhinegara ;   Peneliti INDEF
                                                   KORAN SINDO, 15 Juni 2017




                                                           
MENGHERANKAN, hanya dalam hitungan hari, aturan keterbukaan informasi rekening yang termuat dalam Peraturan Menteri Keuangan No 70/2017 berubah. Pemerintah mengubah saldo minimum yang bisa diintip petugas pajak dari Rp200 juta menjadi Rp1 miliar.

Masyarakat dibuat bingung akan plinplan-nya kebijakan pemerintah di bidang perpajakan. Pelaku usaha wajar cemas, bukan karena niat menghindari pajak atau tidak ikhlas rekeningnya diintip. Kepanikan justru muncul karena ketidakjelasan arah kebijakan pemerintah.

Dalam PMK No 70/2017 maupun Perpu No 1/2017, berulang kali disebut bahwa landasan membuat aturan keterbukaan informasi rekening untuk mengikuti Automatic Exchange of Information (AEOI) alias perjanjian penukaran informasi antarnegara untuk keperluan perpajakan.

Sayangnya, dalam perjanjian tersebut, batas minimal saldo yang diintip bukan Rp200 juta, melainkan USD250.000 atau setara Rp3,3 miliar. Formula penghitungan batasan minimal saldo Rp200 juta pun hingga kini masih misterius.

Bukan kali ini pemerintah terkesan plinplan terhadap kebijakan perpajakan. Pada 2016, pemerintah mengeluarkan PMK No 39/2016 yang berisi keterbukaan data transaksi kartu kredit. Pemerintah ingin mendapat data nasabah bank untuk dicocokkan dengan data laporan pajak.

Tidak lama berselang, sikap plinplan  pemerintah mulai muncul. Per 31 Mei 2017, aturan PMK tersebut akhirnya dinyatakan tidak berlaku. Alasannya, pihak perbankan mengeluh bisnis kartu kredit yang sudah sepi akibat kelesuan ekonomi semakin menurun karena aturan keterbukaan data.

Kegamangan terhadap kebijakan keterbukaan informasi juga berkaitan dengan sanksi bagi pegawai pajak yang menyalahgunakan data terkesan terlalu lunak.

Dalam PMK No 70/ 2017 tentang Petunjuk Teknis mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, di Pasal 30 ayat 3 dan 4 disebutkan bahwa sanksi pidana merujuk pada UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Artinya, hukuman pidana bagi petugas pajak yang nakal hanya satu tahun.

Sementara dalam UU Amnesti Pajak, petugas pajak yang melanggar kerahasiaan data wajib pajak bisa dipidana hingga lima tahun. Wajar timbul pertanyaan, mengapa semakin lama sanksinya semakin lemah?

Cacat Prosedur dan Koordinasi

Dilihat dari proses penerbitan, PMK No 70/2017 jelas mengandung cacat prosedur dan cacat koordinasi. Disebut cacat prosedur karena mendahului keputusan DPR dalam menolak atau menyetujui Perpu No 1/ 2017 sebagai payung hukum keterbukaan informasi.

Pemerintah terkesan arogan dan yakin bahwa parlemen akan memuluskan aturan keterbukaan informasi. Kepercayaan diri yang tinggi memang muncul dilandasi cepatnya proses pengesahan UU Amnesti Pajak tahun lalu, hampir seluruh anggota Dewan menyetujui UU ini. Pemerintah memang tidak ambil pusing soal DPR. Tetapi, kalau ternyata arah angin politik berbalik, bukan tidak mungkin seluruh aturan turunan batal demi hukum, padahal bank dan jasa keuangan sudah siap-siap mengantisipasi aturan ini.

Di sisi lain disebut cacat koordinasi karena pemerintah abai terhadap aspirasi kelompok masyarakat yang terkena dampaknya. Saat PMK No 70 diluncurkan, banyak pengusaha kecil yang merasa kebijakan ini tidak adil dan terkesan menyasar mereka. Artinya, tujuan utama munculnya perpu keterbukaan data untuk menarik dana repatriasi WNI di luar negeri menjadi bias.

Pemerintah justru terkesan ingin menarik potensi pajak domestik, terutama UMKM dan wajib pajak kecil. Pemerintah lagi-lagi mengulang kesalahan dengan ”berburu di sarang semut”. Sebelumnya saat target amnesti pajak diprediksi meleset jauh, pemerintah langsung mengalihkan sasaran amnesti pajak dari pelaku usaha kakap ke UMKM. Bahkan, aksi simbolik seperti mendatangi pasar tradisional untuk mengajak pedagang pasar ikut amnesti pajak jelas lelucon lucu. 

Pajak Adalah Politik
 
Pemerintah tampaknya tidak peka terhadap kondisi sosio-politik saat ini. Repot kalau kebijakan pajak hanya dianggap sebagai kebijakan fiskal semata dan hitung-hitungan teknis. Padahal, salah membuat kebijakan pajak, jutaan rakyat di Indonesia pasti akan protes dan gaduh.

Contohnya, sasaran saldo minimum Rp200 juta dianggap menyasar kelas menengah. Dampaknya bukan tidak mungkin muncul gangguan likuiditas di perbankan, entah dengan cara menarik uang tunai dari rekening bank atau muncul fenomena ”titip tabungan” di rekening teman atau sanak famili. Perilaku tersebut wajar, mengingat kebijakan pajak kurang kredibel dan berubah-ubah.

Berkaitan dengan likuiditas, imbas akhirnya adalah kondisi DPK (dana pihak ketiga) atau simpanan bank semakin tertekan. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, pertumbuhan DPK terus mengalami penurunan dari awalnya tumbuh 19,32% (yoy) pada 2013 menjadi 9,6% (yoy) pada akhir 2016. Sementara likuiditas yang dicerminkan LDR semakin ketat di angka 89%. Gangguan pada likuiditas akan berdampak pada penyaluran kredit yang semakin turun. Imbasnya, sektor riil semakin tercekik.

Pemerintah harus lebih peka melihat kondisi sensitivitas kebijakan ekonomi terhadap suasana kebatinan masyarakat Indonesia. Maklum, sebentar lagi Pemilu 2019, sedikit saja keributan karena salah asuh kebijakan ekonomi, termasuk perpajakan, jumlah konstituen partai berkuasa akan merosot tajam.

Hal ini menjadi pelajaran penting bagi pemerintah, jangan bermain-main dengan aturan pajak. Kredibilitas tim ekonomi bisa menjadi taruhannya. Semangat keterbukaan informasi perpajakan jelas harus terus didukung, tetapi dengan prosedur dan koordinasi yang tepat, bukan terburu-buru dan gaduh. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar