Selasa, 13 Juni 2017

Makna Nuzul Alquran bagi Perempuan

Makna Nuzul Alquran bagi Perempuan
Siti Musdah Mulia ;  Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
                                               MEDIA INDONESIA, 13 Juni 2017




                                                           
SETIAP malam 17 Ramadan umat Islam memperingati Nuzul Alquran. Umat Islam meyakini Alquran pertama kali diwahyukan kepada Rasulullah SAW. Pada malam itu. Tidak banyak yang tahu bahwa orang pertama yang meyakini kebenaran Alquran turun kepada Rasul adalah seorang perempuan. Itulah Khadijah alqubra, istri Nabi yang teramat dihormatinya. Setelah itu, barulah menyusul para sahabat meyakini kebenaran Alquran.

Alquran, kitab suci umat Islam, diturunkan dalam suatu lingkup masyarakat yang tidak hampa budaya. Karena itu, kitab suci ini memiliki dimensi kemanusiaan, di samping dimensi keilahian. Diyakini teks-teks Al-Qur`an sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan ideal. Namun, ketika teks-teks itu bersentuhan dengan budaya manusia, muncul distorsi akibat pengaruh budaya, baik disengaja maupun tidak. Akibatnya, interpretasi manusia terhadap teks-teks tersebut sangat beragam dan cenderung menyalahi nilai-nilai Qurani yang ideal dan luhur.

Perempuan adalah kelompok paling diuntungkan dengan turunnya Alquran. Mengapa? Di bawah tuntunan Alquran, Muhammad, Rasulullah SAW. melakukan perubahan radikal terhadap posisi dan status perempuan dalam masyarakat Arab jahiliyah. Rasul mengajarkan keharusan merayakan kelahiran bayi perempuan di tengah tradisi Arab yang memandang aib kelahiran bayi perempuan.

Rasul menetapkan hak waris bagi perempuan di saat masyarakat memposisikan mereka hanya sebagai objek atau bagian dari komoditas yang diwariskan. Rasul menetapkan kepemilikan mahar sebagai hak penuh perempuan dalam perkawinan pada saat masyarakat memandangnya sebagai hak monopoli orangtua atau wali.

Rasul melakukan koreksi total terhadap praktik poligami yang biadab dan sudah mentradisi dengan mencontohkan perkawinan monogami bersama Khadijah, istri tercinta. Bahkan, sebagai ayah, Rasul melarang putrinya, Fatimah dipoligami. Rasul mengangkat Ummu Waraqah menjadi imam salat, pada saat masyarakat hanya mengenal laki-laki sebagai pemuka agama.

Rasul mempromosikan posisi ibu yang sangat tinggi, bahkan derajatnya lebih tinggi tiga kali dari ayah pada saat masyarakat memandang ibu tak ubahnya mesin produksi. Rasul menempatkan istri sebagai mitra sejajar suami di saat masyarakat memandangnya sebagai pelayan dan objek seksual belaka. Alquran menuntun Rasul mengubah posisi dan status perempuan secara revolusioner. Mengubah posisi dan status perempuan dari objek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subjek yang dihormati dan diindahkan. Mengubah posisi perempuan yang subordinat, marginal, dan inferior menjadi setara dan sederajat dengan laki-laki.

Rasul memproklamasikan keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. Keduanya sama-sama makhluk, sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fi al-ardh (pengelola kehidupan di bumi), dan juga sama-sama berpotensi menjadi fasad fi al-­ardh (perusak di muka bumi). Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama, tidak ada perbedaan sedikit pun. Tidak ada yang membedakan di antara manusia kecuali prestasi takwa­nya (QS Al-Hujurat: 13) dan soal takwa, cuma Allah semata berhak menilai, bukan manusia. Kewajiban manusia hanyalah ber-fastabiqul khairat (berkompetisi melakukan yang terbaik) demi mengharapkan rida Allah SWT.

Dalam momentum memperingati Nuzul Alquran tahun ini, perempuan Islam hendaknya melakukan introspeksi diri: Apakah nilai-nilai Qurani yang begitu ideal dan luhur telah dihayati dan diamalkan secara optimal dan sungguh-sungguh dalam kehidupan nyata sehari-hari? Apakah ajaran Alquran soal relasi gender sudah diimplementasikan dengan baik dalam masyarakat? Perempuan harus bangkit dan berani mengubah semua nilai-nilai budaya dan interpretasi agama yang tidak sesuai dengan prinsip dasar Alquran yang begitu memanusiakan perempuan.

Seiring dengan itu, melalui puasa Ramadan, perempuan pun secara internal harus mampu mengubah semua dimensi buruk dan tercela dalam diri masing-masing, untuk selanjutnya berkompetisi menuju kualitas muttaqin. Semoga setelah ini tingkat kualitas takwa kita menjadi lebih baik dari sebelumnya. Amin! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar