Kamis, 21 September 2017

Film Pengkhianatan G30S/PKI : Docudrama atau Fakta?

Film Pengkhianatan G30S/PKI :
Docudrama atau Fakta?
 Kisah Seorang Anak SMP di Tahun 1984 dan Film Pengkhianatan G30S/PKI 
                                                                             

                                                           
MUNGKIN betul kata sejarawan John Roosa dalam salah satu karya suntingannya: untuk Indonesia, 1965 adalah tahun yang tak pernah berakhir.

Hampir setiap tahun, menjelang akhir September dan awal Oktober, selalu tak luput dari pembahasan fakta, tulisan, buku atau kesaksian baru tentang kejadian di sekitar 30 September 1965 sampai 1 Oktober 1965.

Tetapi tahun ini sangat berbeda. Pembahasan ramai di berita sepanjang minggu ini, tentu lebih kencang lagi di lini massa media sosial adalah tentang rencana pemutaran kembali film legendaris Penumpasan Pengkhianatan G30S/ PKI yang lebih sering disingkat judulnya sebagai Pengkhianatan G30S/ PKI.

Film produksi Perum Produksi Film Negara (PPFN) tahun 1984 ini diakui para pembuatnya sebagai docudrama, drama dokumenter, bukan dokumenter.

Sebagian besar adegan dibuat dalam rekaan ulang, walaupun ada juga beberapa bagian (sangat sedikit) berupa dokumentasi.

Film ini disutradarai dan ditulis oleh Arifin C Noer, diproduksi selama dua tahun dengan anggaran sebesar Rp 800 juta kala itu. Mungkin 10 kali lipat dalam nilai mata uang saat ini.

Selesai pada 1984 dan kemudian diputar secara terus-menerus di bioskop nasional dan TVRI selama kurang lebih 13 tahun. Mungkin inilah film nasional dengan jumlah penonton terbanyak sampai saat ini.

Ketika Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya, 21 Mei 1998, mulai banyak pihak mengkritisi film ini. Film yang sejak semula memang tujuannya sebagai film propaganda di era pemerintahannya.

Ini diperkuat oleh hasil riset beberapa sejarawan yang baru terungkap setelah Presiden Soeharto berhenti.

Dari rujukan-rujukan yang saya peroleh, setidaknya ada tiga tokoh sentral yang berperan dalam dihentikannya pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI.

Mereka adalah almarhum Marsekal Udara Saleh Basarah, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono. Majalah Tempo menulis, Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono saat itu mengatakan, ia pernah ditelepon Marsekal Udara Saleh Basarah, Kepala Staf Angkatan Udara KSAU (1973-1977) sekitar bulan Juni-Juli 1998.

"Beliau keberatan karena film itu mengulang-ulang keterlibatan perwira AURI pada peristiwa itu (30 September)," kata Juwono ketika diwawancarai 28 September 2012.

Sebagai menteri pendidikan kala itu, Juwono meminta kepada para ahli sejarah untuk meninjau kembali kurikulum pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA, khususnya yang memuat peristiwa-peristiwa penting. Supaya informasi yang diperoleh siswa didik lebih berimbang.

Ada pun Menteri Penerangan saat itu Letjend (Purn.) TNI Yunus Yosfiah, mengatakan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika Reformasi.

"Karena itu, tanggal 30 September mendatang, TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Yunus seperti ditulis dalam harian Kompas, 24 September 1998.

Nonton bareng dan diputar kembali

Minggu lalu, 15 September 2017, awalnya ada pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan: masyarakat dan generasi muda saat ini perlu tahu sejarah G30S/ PKI.

“Tujuannya, agar masyarakat dan generasi muda mengetahui bahwa pernah ada gerakan kudeta," kata Tjahjo melalui pesan singkatnya, Jumat (15/9/2017) yang dimuat Kompas.com.

Ia melanjutkan, karenanya, ia tak masalah jika film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI diputar kembali di layar-layar kaca televisi nasional.

Izin Mendagri kemudian membuat Panglima TNI Jederal Gatot Nurmantyo melanjutkannya dengan seruan serta perintah menonton bareng film ini tepat di malam 30 September 2017 nanti.

Menonton film ini pada 1984

Ramai pemberitaan akan diputarnya kembali film Penghianatan G30S/PKI membuat saya kembali mengingat apa yang saya alami ketika film ini baru saja diproduksi dan wajib ditonton seluruh siswa sekolah umum se-Indonesia.

Saya beruntung menjadi salah satu dari jutaan anak dan pelajar Indonesia yang dikenai wajib nonton bareng (nobar) di bioskop. Sehingga saya bisa menceritakannya kembali pengalaman 33 tahun lalu yang ternyata relevan sampai sekarang.

Tak lama setelah film itu rilis, saya menjalani program wajib-tonton film Pengkhianatan G-30-S/PKI di sebuah bioskop umum di Rawamangun, Jakarta Timur. Kami duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama.

Bioskop itu berkapasitas 200-an orang. Dalam suasana gelap-pekat, tanpa penjelasan lebih dulu dari guru-guru, kami semua dibuat tercekat atas suguhan di layar.

Beberapa teman saya menangis. Bagaimana tidak menangis? Bukan film horor, tetapi film yang berdurasi sekitar 3 jam itu menyuguhkan scene mengerikan seperti pembacokan, penyiksaan, dan darah.

Awalnya, saya menilai kami menangis dan histeris karena kami masih kecil. Tetapi ternyata, sampai usia kuliah hanya momen itulah yang saya (dan mungkin teman-teman saya saat itu) ingat tentang kejadian bersejarah Tragedi 1965.

Setelah itu setiap tahun film itu diputar di televisi. Untungnya Ayah dan Ibu saya cukup bijak. Selalu ada acara lain bila malam itu tiba.

Atau, kalau pun menonton, hanya sambil lalu. Semakin dewasa, saya lalu semakin yakin. Film itu adalah propaganda anti-PKI.

Penyebabnya, karena di zaman Orde Baru sangat sering cuplikan film itu menyertai berita tentang peristiwa bersejarah itu, tanpa ada keterangan tambahan bahwa ini cuplikan film.

Mana yang benar, dan mana yang cuma adegan film, campur aduk. Sehingga komentar saya dalam diskusi dengan orangtua ketika itu adalah, “Apakah betul itu kejadian sebenarnya?”
Dan Ayah saya yang mungkin juga tak berminat membahasnya, hanya menjawab pendek, “Kurang lebih, tapi ada yang tidak benar.”

Di masa itu pengetahuan saya (juga hampir semua teman) tentang sejarah kelam ini memang hanya dari buku Sejarah Nasional Indonesia, buku pegangan siswa SMP sampai SMA, karya Prof Nugroho Notosusanto dan film itu.

Menemukan fakta

Di masa dewasa dan baru lulus dari Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, saya seorang wartawan. Saya lalu bersinggungan lagi cukup intens dengan tema ini ketika majalah berita tempat saya bekerja, majalah D&R, menulis liputan utama selama empat edisi berturut-turut pada bulan Oktober 1998.

Saya mewawancarai  dr. Liem Joe Thay yang kemudian lebih dikenal dengan Prof Arief Budianto, kini telah almarhum, Guru Besar Kedokteran Forensik UI.

Ia salah seorang dokter non-militer yang saat itu diminta bergabung dengan Tim Kedokteran ABRI untuk memeriksa mayat enam perwira tinggi dan satu perwira pertama korban, pada malam 4 Oktober sampai dini hari 5 Oktober 1965.

Bagian terpenting dari wawancara itu yang juga dikutip oleh Julius Pour dalam bukunya Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan dan Petualang (Penerbit Buku Kompas, 2010) adalah ketika Prof Arief menyatakan, “Satu lagi, soal mata yang dicongkel. Memang, kondisi mayat ada yang bola matanya copot, bahkan ada yang sudah kontal-kantil. Tetapi itu karena sudah tiga hari terendam air di dalam sumur dan bukan karena dicongkel paksa. Saya sampai periksa ulang dengan saksama tapi matanya dan tulang-tulang sekitar kelopak mata. Apakah ada tulang yang tergores? Ternyata tidak ditemukan...”

Saya ingat, saya lalu bertanya pada Prof Arief, mengapa di film ada adegan penyiksaan yang sadis dengan mencungkil bola mata? “Itu semua tidak ada, pemeriksaan mayat membuktikannya. Film itu kan propaganda Orde Baru,” demikian Prof Arief.

Wartawan dan penulis kawakan Julius Pour mengutip lengkap wawancara saya di majalah D&R itu. Satu lagi, pada edisi Oktober 1998 itu saya juga mewawancarai Ibu Mitzi Farre-Tendean, kakak kandung almarhum Kapten Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution yang menjadi korban.

Pierre anak tengah dan satu-satunya laki-laki dari tiga bersaudara. Ibu Mitzi memiliki dokumentasi cukup lengkap surat kabar di masa itu yang menjadi topik wawancara kami.

Salah satunya ketika kami membahas berita di koran Angkatan Bersenjata tentang almarhum adiknya yang disiksa dan dilecehkan seksual oleh para anggota Gerwani. Ia mengunjungi sendiri para tertuduh di tahanan, dan dari bincang-bincang dengan para perempuan itu, dia sendiri ragu mereka pelakunya.

“Para perempuan itu diambil dari daerah Senen dan dipaksa mengaku mereka melakukan penyiksaan kepada Pierre,” kata Ibu Mitzi dalam wawancara itu. Wawancara lengkap saya ini diterbitkan di majalah D&R tahun 1999.

Jadi, cukuplah sudah kesimpulan saya dan cukup alasan buat saya berpendapat: film itu bukan fakta, terutama pada bagian drama penyiksaan para korban.

Bagian paling utama dari film itu, yang begitu membekas sampai meninggalkan trauma pada anak-anak yang menontonnya adalah drama penyiksaan di Lubang Buaya.

Padahal, dengan sedih saya mengingat, bagian itulah yang paling traumatis, mencekam dan membekas di benak anak-anak. Tanpa mereka tahu konteks yang melatarbelakangi peristiwa ini terjadi.

Pada tulisan saya selanjutnya, saya akan menulis bagaimana trauma itu bahkan sampai dialami oleh putera bungsu Nani Nurrachman Sutojo, Nano, yang kala menonton film itu baru berusia 8 tahun.

Ibu Nani adalah putri Jenderal Sutojo Siswomihardjo, salah satu pahlawan revolusi yang gugur pada peristiwa subuh 1 Oktober 1965 itu.

Nano mengeluarkan, “What is communist, Ma? Did they kill Eyang Tojo?”

Pertanyaan yang membuat ibunya terperangah dan tidak mampu menjawabnya. Ia hanya meminta waktu. Sampai Nano memahami penjelasannya.

Buku Nani Nurrachman Sutojo dan Jenderal Pranoto Reksosamodra

Pada tahun 2011 dan 2013 keterlibatan saya sebagai penyunting-penulis dua buah buku terkait Tragedi 1965, semakin menambah wawasan pikir saya tentang tragedi nasional ini, Memoar Ibu Nani Nurrachman Sutojo dan Memoar Jenderal Pranoto Reksosamodra.

Kedua buku ini diterbitkan Penerbit Buku Kompas dalam waktu yang tidak terlalu jauh. 2013 dan 2014. Ketiga pengalaman menulis dengan tema 1965, tetapi dalam tiga periode waktu yang berbeda ini membuat saya sadar, betapa pentingnya menulis sejarah dari tuturan lisan, tuturan pelakunya. Bukan berasal dari pendapat satu pihak.

Tuturan Ibu Nani dan almarhum Jenderal Pranoto dalam bukunya, juga almarhum Prof Arief Budianto. Ibu Mitzi-Farre Tendean dan berbagai sumber tuturan para korban, saksi dan pelaku dalam Tragedi 1965 yang saat ini sangat mudah kita peroleh, seharusnya mendapat tempat cukup signifikan dalam buku-buku sejarah.

Seperti dikatakan Menteri Juwono Sudarsono ketika melarang pemutaran film ini pada tahun 1998: harus ada tambahan muatan baru dalam buku-buku sejarah sehingga penulisan ataupun karya film tentang masa itu lebih berimbang.

Sayang, imbauan beliau sampai saat ini tidak tercapai. Saya percaya, seruan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo adalah demi kebaikan bangsa, tetapi alangkah luar biasa baiknya bila seruan menonton film ini disertai juga seruan membaca sumber-sumber sebanyak mungkin.

Sehingga, misalnya, ketika ada pertanyaan soal bagian mana dalam film itu yang docudrama (rekaan atau adegan yang diambil dari kejadian nyata) dan bagian mana yang betul-betul dokumenter, tidak menjawabnya dengan: Saya tidak tahu. Atau: Saya tidak memikirkannya.

Sekali lagi, ini cuma saran seorang penulis muda, yang lahir jauh setelah Tragedi 1965 terjadi, tetapi sangat tertarik ikut serta mempelajari dan menulis sejarah. Saya adalah bagian dari “suara yang tidak mengalami, tetapi ingin mendengar, mencari tahu dan menuliskannya”.


Sumber :  Imelda Bachtiar (Wartawan), Kompas.com 20 September 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar